Ingkar

Idelando-Yogyakarta, kota dengan sejuta keindahan yang selalu berhasil memikat siapa pun yang sempat singgah, tak terkecuali aku, Jemima Neskala. Seorang anak dari kota seberang yang sering singgah di Yogyakarta kala hari libur tiba. Sedari kecil Yogyakarta telah menjadi sahabatku, menjadi saksi sebagian besar hal dalam hidupku, hingga sebuah mimpi muncul untuk bisa menikah dengan pribumi dan menetap di sana untuk membangun kebahagiaan yang akan menghiasi sisa waktu di dunia.

Layaknya kata sempurna, setiap sudut Yogyakarta tak memiliki kekurangan apa pun. Pergi menulusuri jalan-jalan yang entah sudah berapa kali aku melewatinya dalam beberapa tahun terakhir. Seperti yang orang bilang “Semua tentang Yogya itu istimewa”, terlebih lagi seorang Pradipta Maheswara. Aku mengenal Pradipta tanpa rencana, dan kemudian jatuh cinta tanpa sengaja. Namun, aku memilih untuk memendamnya, hanya berharap suatu saat rasa ini segera terbalas. 

“Jadi gimana? Kamu mau jadi pacarku?” sebuah pertanyaan simpel yang dapat mengacaukan konsentrasiku. Tak ada prasangka bahwa hari ini akan disuguhi pertanyaan yang tak pernah kumimpikan. Lama Pradipta menunggu sebuah jawaban, aku meliriknya untuk memastikan apa yang baru saja kudengar. Melihat responku mungkin ia paham, lalu mengangguk dan mengusap tanganku lembut, “Gapapa, jangan buru-buru, ak-“ belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, aku langsung memotong untuk menyetujui tawarannya. Seperti tak percaya, ia lantas menepuk-nepuk pipinya dengan kasar, menoleh kepadaku dengan senyuman lebar dan kemudian memelukku erat, sangat erat, mengekspresikan perasaannya jika ia sangat bahagia. Tingkahnya sangat lucu, tetapi memang begitu adanya, selalu mampu membuatku tertawa atau pun hanya sekedar tersenyum. Banyak hal dari Pradipta yang mampu membuatku jatuh cinta selain kepribadiannya. Ia merupakan siswa berprestasi di sekolahnya, pandai dalam mengelola emosi, adanya perasaan aman dan nyaman saat bersamanya dan masih banyak lagi. Sepertinya tak akan cukup sebuah buku untuk menceritakan seberapa besar istimewanya seorang Pradipta Maheswara bagi Jemima Neskala.

“Halo? Gimana hari ini Mima? Aku lihat di snap Instagram-mu, kayanya padet banget ya jadwal minggu ini?” Kami sudah kembali menjalani long distance relationship atau yang biasa disebut dengan LDR. Seperti biasa, Pradipta selalu menelfonku setiap jam pulang sekolah, memastikan apakah aku baik-baik saja. Suara ini yang selalu kunantikan, menjadi pelepas penat dan segala keresahan yang ada. Lamat-lamat kutenggelam dalam pikir, bagaimana jika dering telfon ini sudah tak lagi menyapaku? Apa yang aku akan kulakukan? Bagaimana aku bisa menjalani hari-hari yang begitu berat ini? Tak terasa air mataku mulai berjatuhan, menyisakan isak tangis sebagai jawaban dari pertanyaan. Terdengar suara Dipta memanggilku, berusaha untuk menenangkanku, “Dip, bagaimana jika semua ini hanya sia-sia?” Entah apa yang ada dalam pikiranku, hanya itu yang bisa aku katakan. “Apa yang kamu katakan? Tidak ada yang sia-sia selagi kamu berusaha dan berdoa. Jemima hari ini mungkin kamu cukup lelah, ambilah waktu untuk beristirahat, aku akan menunggumu.”.Mungkin benar apa yang Dipta katakan, aku sudah cukup pusing dengan kegiatan hari ini, sehingga aku memikirkan hal negatif. Setelah dimatikannya telefon, aku segera membersihkan diri dan istirahat. 

Keesokan paginya pesan singkat dari Pradipta kuterima, tak memakan banyak waktu untuk membalas pesan itu. Kini aku sudah jauh lebih baik, aku merasa sangat siap untuk menjalani hari-hari yang melelahkan. 

Menit berganti jam, hari berganti minggu dan bulan pun berganti tahun. 14 Februari merupakan suatu kebahagiaan ganda bagiku, tepat di hari ini aku resmi menjadi remaja, dan pada hari ini juga hubunganku dengan Pradipta memasuki tahun pertama. Perasaan senang sekaligus terharu menjadi satu, kali ini hanya perayaan sederhana yang kuinginkan. Sebuah kue dan lilin sudah siap di hadapanku, “Hei, jangan lupa berdoa dulu.” ucap Pradipta yang mengetahui aku hendak mendahului. Aku bersyukur karena ini adalah hari Minggu, jadi aku bisa merayakan tahun pertama bersama dengan Pradipta di sampingku. 

Kupejamkan mata dan kutengadahkan kedua tanganku, “Semoga hidup aman dan bahagia untuk orang yang kusayang, semoga Tuhan permudah semuanya, semoga Tuhan kabulkan harapan dan tujuanku, serta semoga bertahan lama bagi aku dan Pradipta Maheswara”. Melihat aku yang sudah mengusap telapak tangan, Dipta segera mengaminkan. “Apa tadi doanya? Keliatan bahagia banget gitu?” tanyanya dengan rasa penasaran maksimal. “Kaya biasanya aja si, tapi aku punya pikiran deh Dip, di usiaku ke-25 nanti aku pengen ngerayainnya di pantai saat senja. Pantai Watu Kodok, di situ sunsetnya cantik banget Dip. Terus aku pengen nikah muda, aku punya impian buat nikah di Candi Prambanan.” ucapku. “Iya Jemima Neskala, nanti kira rayain ulang tahun ke-25 di pantai ya. Kalau soal pernikahan, semoga kita bisa sampai ditujuan itu”. Dan hanya kubalas dengan anggukan. 

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, tahun ini adalah tahun terakhirku menjadi murid SMA, bayanganku akan lebih mudah karena pada kelas akhir ini hanya perlu pengulangan dan aku sudah dapat membiasakan diri. Namun semua hal itu percuma, tugas, ulangan, deadline membuatku harus berperang dengan waktu. Tak jarang aku harus melewatkan makan malam hanya demi sang tugas tercinta. Pulang sekolah disambut dengan langit yang sudah mulai membiru, sekedar untuk menarik nafas saja jam telah menunjukkan pukul setengah 7 malam. Aku merasa benar-benar harus memiliki strategi mengatur waktu. Karena itu, ketika sedang mengerjakan tugas aku meminimalisir penggunaan HP. Jika ada waktu senggang baru akan kugunakan untuk membalas dan memberi kabar Pradipta. 

Aku cukup tenang karena Pradipta orang yang sabar dan pengertian, tapi rupanya hal tersebut tidak bertahan lama, sempat beberapa kali dalam satu minggu ada ujian mendadak yang mengharuskanku untuk memberikan seluruh perhatikanku dan beberapa kali juga aku terlupa untuk memberi kabar kepada Pradipta. Kalau boleh jujur, aku ngerasa capek harus mengerti kemauannya untuk selalu diberi kabar kapan pun aku melakukan aktivitas, dan jika aku sampai lupa, perang pun dimulai. Entah pikiranku yang terlalu buruk kepadanya atau hanya aku yang kurang mengerti. 

Bulan berganti menunjukkan kata November yang berarti untuk satu bulan ke depan aku benar-benar tidak bisa diganggu. Pelaksanaan Penilaian Akhir Semester dilaksanakan pada tengah bulan, untungnya jadwalku dan Pradipta tidak jauh berbeda sehingga kami bisa fokus dengan prioritas masing-masing. Teleponku tiba-tiba berdering, kucoba tarik nafas panjang sebelum mengangkatnya, “Halo? Jemima? Maksud kamu apa sih? Emang gabisa apa nyempetin waktu 5 menit buat kabarin aku? Segitu gak pedulinya kamu sama hubungan ini.” Bibirku gemetar menahan tangis, kenapa setiap aku memiliki kesibukan dia selalu memulai pertengkaran? Dadaku mulai terasa sesak, perasaan sedih, bingung dan kecewa menjadi satu, membuatku merasa bersalah tetapi juga marah. “Dip maafin aku, aku bener-bener sibuk, bahkan untuk sekedar makan aku kadang lupa.” jelasku untuk memberi pengertian, tapi sepertinya Dipta tak bisa menerima alasan apa pun, hingga setelahnya obrolan kami hanya berakhir pada kata “terserah”.

Ketika PAS selesai, disambutlah dengan libur Natal dan Tahun Baru. Sudah menjadi kewajiban untuk mengunjungi kota sejuta kenangan ini, dengan harapan aku bisa memperbaiki hubungan juga dengan Pradipta. Tak perlu waktu lama untuk bisa bertemu dengan Dipta, memperbaiki hubungan adalah tujuan awal dari pertemuan ini dan setelahnya kami bertukar cerita, suka dan duka saat pelaksanaan ujian. Tak kusangka jika pertengkaran kemarin berdampak buruk bagi Pradipta, rasa bersalah pun menyelimuti, merasa malu dan kasihan padanya karena harus mendapatkan ini semua. 

Malam itu juga aku mulai berpikir apa yang harus kulakukan, tidak ada hal yang menim resiko daripada menyudahi hubungan kami. Memakan waktu yang cukup lama juga untuk bisa mempersiapkan hati atas konsekuensi serta penolakan yang ada. Malam sebelum kepulanganku menuju kota kelahiran, aku mengajak Pradipta untuk yang terakhir kali menikmati indahnya Yogyakarta, bercanda ria dan memeluknya erat. Ketika dalam perjalanan pulang, aku mulai mempersiapkan diri dan memberanikan diri untuk mengatakannya. “Jem, sudah sampai nih.” ucap Pradipta. “Oh iya, aku turun ya”. Kemudian aku memberinya isyarat untuk bertamu sebelum pulang. Kusiapkan teh dan camilan favoritnya di atas meja. “Pradipta, terima kasih untuk hari ini. Aku benar-benar bahagia, terima kasih juga telah mengusahakan banyak hal untukku.” ucapku dengan nada yang pelan, seperti tak sanggup untuk melepasnya. Berat memang jika harus melepaskan dia yang kau sayang untuk kebaikan masing-masing. Mengorbankan perasaanmu agar dia bisa hidup lebih bahagia dan nyaman. 

Mataku mulai memanas, kukedipkan berkali-kali agar tak turun di hadapannya. “Sama-sama, aku juga seneng banget hari ini kita bisa pergi keluar sebelum kamu pulang.” jawab Pradipta. “Dip, aku minta maaf jika selama ini aku kurang memahami inginmu. Tapi percayalah aku selalu mencoba yang terbaik, selalu kuusahakan banyak hal untuk hubungan ini. Tapi maaf jika kali ini aku menyakitimu sangat dalam. Pradipta, mari kita akhiri hubungan ini. Benar kata orang, pendidikan dan asmara tak akan pernah bisa berjalan di atas rel yang sama jika masinisnya bukan seorang ahli. Aku gabisa Dip, aku gamau cita-citamu gagal. Mari untuk fokus pada tujuan dan prioritas masing-masing”. Bohong jika aku tak menangis, aku tak sekuat itu untuk mengatakan hal ini. Kulihat ekspresi terkejut Dipta yang sulit sekali untuk kuartikan.

“Maaf, aku benar-benar minta maaf harus mengatakan ini. Aku pikir kita harus fokus pada tujuan dan prioritas kita masing masing, Dip.” ucapku dengan penuh rasa bersalah. “Kamu ngomong apa sih Jem? Kamu lagi kecapean ya? Atau kamu takut kangen aku? Ga ada ya udahan kaya gini.” sahut Pradipta dengan nada yang bergetar. Aku tahu ia pasti bingung, tapi hebatnya Dipta memilih menenangkanku di saat dirinya sendiri yang butuh ditenangkan. Tuhan, kenapa harus seberat ini….

“Engga, kita harus selesai.” tegasku. Aku tak mau lebih membuat Dipta jauh dari cita-citanya. “Jemima, sayang, tujuan dan prioritasku juga termasuk kamu di dalamnya. Kenapa? Apa aku buat salah? Apa yang terjadi?” tanya Pradipta, kini ia benar-benar menangis di hadapanku. Sakit rasanya. “Ga ada, tidak ada kesalahan darimu. Hanya saja aku rasa aku ga bisa menyeimbangkan antara pendidikan dan asmara. Kita juga sudah gagal untuk saling memahami akan kesibukan masing masing. Cukup sampai sini saja hubungan kita ya? Jangan khawatir, ayo kembali setelah kita berhasil meraih tujuan kita, ayo bersama dan mewujudkan mimpi-mimpi itu”. 

Tak salahkan jika kita memiliki mimpi untuk bisa selamanya? Tak salahkan jika yang kita inginkan hanya bersama selama mungkin sampai ajal yang memisahkan? Hanya Pradipta yang kupercaya untuk menjagaku, tapi saat ini, aku lebih baik melepaskannya untuk kebaikan masa depannya. Aku takut jika akulah yang membawa semua kegagalan yang ia dapatkan selama ini. Jika tidak Pradipta Maheswara, maka tidak yang lain. Malam itu adalah malam terakhir kita saling mendekap sebagai sepasang kekasih. Melepas semua tanya, beban dan rindu yang akan tertabung untuk jangka waktu yang kita tidak akan tau kapan berakhir. “Janji ke aku ya Jemima, mari bertemu kembali. Tolong jaga hatimu untukku, aku akan selalu menjaganya untukmu.” ucapannya hanya bisa kubalas dengan anggukan. “Sudah malam Jem, aku izin pulang ya. Jangan lupa berdoa dan ingat aku di setiap bagian kecil dari kenanganmu.”

Perayaan 14 Februari yang ke 25, kudatangi sendiri pantai yang pernah menjadi impianku dengan Pradipta. Menikmati deburan ombak dipadu dengan hembusan angin sore menjelang malam yang menyejukkan, mendongak sesekali untuk mengagumi indah ciptaan-Nya. Sedih namun bahagia, setidaknya Tuhan masih memberiku kesempatan untuk bisa mewujudkan impianku walaupun tanpa seseorang yang menjadi alasanku tetap hidup. Kugelar sebuah kain, menyiapkan perayaan kecil yang hanya ada aku dan laut, sengaja tak kunyalakan lilin, takut capek dan membuang waktu. Kini tanganku sudah menengadah sempurna, kalimat-kalimat harapan mulai kuucapkan dalam hati.

“Aamiin”. Tak asing rasanya. Aku menyerngitkan dahi sambil menebak-nebak siapa pemilik suara ini, lalu tersadar dan kini pipiku sudah mulai basah. Tubuhku seperti ditarik, kemudian didekap dengan lembut, “Gapapa Jemima, aku juga merindukanmu. Maafkan aku karena terlambat menghadiri perayaan hari ini. Selamat ulang tahun.” ucapnya. Aku tak tahu bagaimana aku harus mendeskripsikan perasaan ini, semuanya bercampur, tak ada satu pun yang menonjol. Dekapan yang selalu kurindukan, suara khas yang menenangkan dan bau parfum yang selalu menjadi tujuanku untuk kembali ke Kota Yogyakarta.

Ini sudah hampir 6 tahun yang lalu, tapi tak kutemukan yang berubah darinya. Bohong jika aku tak rindu, buktinya saja kini tanganku melingkar pada tubuh besarnya dan menangis dalam peluknya. “Aku rindu Dip, aku bohong aku baik-baik saja selama ini. Aku ga punya tempat cerita, aku ga punya rumah untuk aku pulang, aku kaya kehilangan arah.” kuutarakan padanya apa yang kurasa selama ini, aku ingin Pradipta mengerti jika aku juga tersiksa dengan keputusanku. “Sudah, aku sudah disini bersamamu Mima. Jangan khawatirkan hal apa pun, aku sudah bersamamu. Kita makan kuenya dulu gimana? Sayang banget kalau kita jadi makan pasir pantai nanti”. Kulepas pelukanku, tersenyum lebar kepadanya, Pradipta tetaplah Pradipta. Ia tak akan pernah berubah, mungkin hanya berlangsung sebentar jika ya, karena aku tahu Dipta adalah orang yang mudah menyesuaikan diri. Mau sehancur dan seburuk apapun hari yang ia jalani, ia bisa memposisikan diri pada tempatnya.

Kue yang kubawa bukanlah kue besar, hanya berdiameter 10 cm dengan tebal 5cm, cukup untuk kami makan berdua. Kupandangi lelaki hebat di sampingku, rasa syukur selalu terpancar setiap aku bersamanya. Merasa aneh dengan tawa Pradipta yang tiba-tiba. “Bentar ya Mima, aku beli tissue di warung itu”. Kubalas dengan anggukan. Kemudianku keluarkan sebuah benda dari tasku dan diletakkan di bawah kue. Tekadku kali ini bulat, kulangkahkan kaki dengan cepat untuk menjauh dari tempat tersebut, harapanku aku pergi tepat sebelum Dipta kembali. 

Kuhentikan langkahku, duduk di sebuah kursi yang Dipta tak akan bisa melihatku. Kupandang dari kejauhan ia bingung dan membaca secarik kertas yang kutinggal.

Hai Pradipta Maheswara,

Aku yakin kau pasti bertanya di mana diriku saat ini. Tak perlu, aku sudah berada di tempat yang seharusnya. Bosen pasti harus membaca permintaan maafku, tapi kali ini kamu juga harus membacanya. Dipta, maaf, aku tak bisa menepati janjiku. Aku tak bisa bersamamu, aku tak bisa untuk menjadi rumahmu. Maaf karena aku telah mengacaukan harapan kita. Aku kini telah bertunangan dengan seseorang, ia tak lebih darimu namun juga tak kurang darimu. Ia orang yang tepat untukku Dip. Jangan khawatir jika aku akan terluka, ia sama sepertimu, menangis jika merasa menyakitiku. Kalian memiliki banyak kesamaan, hingga membuatku jatuh cinta. Pernikahanku akan dilangsungkan pada 8 Agustus mendatang di tempat yang pernah menjadi tujuan kita, Candi Prambanan. Aku tak memaksamu untuk hadir, maafkan aku karena menggoreskan tinta pekat pada kanvas putihmu. Tolong ya Dip, temukan kebahagiaan lain yang bisa menjaga dan mencintaimu lebih dari aku. Bagaimana pun setelah ini, jalani hidupmu dengan nyaman ya? Arungi semua lautan dan capailah impian besarmu. Ada tidaknya aku dalam proses tersebut, doaku akan selalu menyertai setiap langkahmu. I loved you, Pradipta

Dadaku mulai terasa sesak, kuputuskan untuk segera pergi. “Selamat tinggal, Yogyakarta” ucapku. Kupasangkan kembali cincinku, kemudian tersenyum pada seseorang yang telah menungguku di pintu keluar. Memang tak semua harapan dapat menjadi kenyataan. Tuhan Maha Adil, lebih mengerti mana yang kita butuhkan dibanding yang kita inginkan. Untuk Pradipta, kuucapkan banyak terima kasih karena telah mengajarkanku banyak hal dan perasaan. Terima kasih telah membersamaiku untuk setiap hari sulit yang kumiliki. Banyak tentangmu yang tak akan bisa kudapatkan di diri orang lain, tapi tak masalah. Setiap orang memiliki porsinya masing-masing. Mungkin di lain waktu kita bisa kembali bertemu dan mentuntaskan kisah kita. Mungkin di lain waktu kita bisa menjadi seperti apa yang telah kita rencanakan, mungkin di lain waktu. Selamat berbahagia Dip, terima kasih telah menyertaiku juga dalam menyelesaikan kisah ini. 

Penulis: Aniella Kasyifa, Siswi SMKF Bina Farma Madiun

Sosial Media Terbaik
Platform Pengiriman Pesan Instan
Platform Sosial Media

Follow Me
Profil Fafa Media di Instagram
Profil Fafa Media di Instagram

Artikel Terbaru