Riuh


Idelando-Gemuruh riuh. Hatiku, nasibku, pendidikanku, dan masa depanku. Ya, aku Yola mahapeserta didik di ambang keputusasaan. Tidak ada yang mau sepertiku. Entah itu aku, kamu, atau mereka. Hari-hariku hanya dipenuhi keriuhan, kegelapan, ketidakberdayaan, kesesakkan yang sesuka hati menghantui setiap hembusan nafasku. Bertemu orang banyak, mengobrol dengan banyak orang yang dulu menjadi momen yang aku suka, sekarang semacam cambukan di depan mata. Hanya ada pertanyaan yang ada di benakku setiap harinya, ‘Apa aku mampu? Apa aku bisa?’ yang selalu terngiang-ngiang memutari seluruh lorong di otakku setiap hari.

Aku yang biasa orang kenal dengan perawakan tinggi, kurus, mata belo berambut panjang yang lihai berbicara dan menyukai dunia pop Jawa ini tak lagi yang seperti orang kenal. Banyak orang mengatakan aku hilang dan terbawa arah angin itu. Aku menyadarinya, aku menjadi pribadi yang 180 derajat mengurung diri dalam lorong gelapku. Entah aku yang terlalu nyaman, atau aku lupa bagaimana caranya keluar, bagaimana jalan untuk kembali ke definisi normal.

Suatu momen, aku bertemu dengan teman-teman seangkatanku. Di tengah penampilan mereka yang lusuh akibat menjadi manusia nokturnal ibarat kata, tersungging senyum indah mereka. Batinku hanya bisa bicara pasti mereka melangkah dengan mudah tanpa melalui banyak simpangan sepertiku. 

“Hai teman-teman, doain persiapan ujian skripsiku lancar ya?” ucap Abi.
“Siap dong. Memangnya sampai mana persiapanmu Bi?” tanya Ita.
“Ih, masak kamu gak tahu sih Ta? Abi udah tinggal pelengkapan berkas aja.” sahut Vio.
“Iyakah? Wah berarti turnitinnya udah aman dong ya?”
“Iya dong La. Kamu piye [1] sampai mana?” tanya Abi.

Hanya senyuman kecil yang bisa aku berikan. Lagi-lagi mulutku tak mampu berucap sepatah kata pun, jangankan kata, satu huruf pun aku tak mampu mengutarakannya. Lorong pesimisku makin sesak tatkala mendengar kabar bahwa temanku akan menyelesaikan pertarungannya. Skripsi bagiku pertarungan hidup. Bertarung dengan kemalasan, bertarung dengan tanggung jawab, bertarung tentang masa depan, bertarung tentang harapan orang tua, dan bertarung dengan perekonomian.

Pertarungan hebat kehidupanku di mulai tatkala roda keluargaku kembali berada di bawah sangat dekat dengan aspal jalan yang panas itu. Semuanya berubah, tapi apa boleh buat? Bukannya itu sudah takdir Yang Maha Kuasa bukan?

“Dek, mulai bulan depan Abang belum bisa kirim kamu uang saku ya?” 
“Ada apa Bang? Padahal waktu dekat-dekat ini Yola banyak kebutuhan, Bang. Yola sedang proses penyelesaian skripsi Bang.”
“Iya Dek, Abang tahu itu. Abang sedang dilanda masalah Dek. Maafkan Abang. Tapi apapun itu tetap akan Abang usahakan.”
“Iya Nduk [2], mengertilah posisi dan keadaan Abangmu saat ini. Maaf ya, jika posisi kita sulit seperti ini semenjak kepergian Ayahmu.” ucap Ibu.

Lagi dan lagi Ibu kembali mengutuki dirinya karena kepergian Ayah. Ayah kecelakaan sejatinya memang karena sudah takdir Tuhan, dan keadaaan keluargaku menjadi seperti ini juga bukan karena Ibu maupun Ayah atau siapapun. Ya, kita sedang diuji habis-habisan oleh Tuhan karena aku percaya Tuhan tahu bahwa aku dan keluargaku mampu.

Ayahku merupakan sosok yang pekerja keras, ia melakukan apapun demi mencukupi anak-anak dan istrinya. Ia hebat tak pernah mengeluh, dan selalu berusaha. Aku suka caranya berbicara dengan memandang dan menelisik mata lawan bicaranya. Senyumnya yang hangat membuatku merindukannya di sepertiga malamku. Ayah, aku memang tak pandai berbicara di depanmu, tapi asal kau tahu. Aku bangga dan akan selamanya mencintaimu.

Senja di hari itu kembali menyapa tubuhku. Semburat oranye yang indah di sore itu, membuatku tersadar bahwa paras yang indah ada setelah badai. Hujan deras sebelumnya membasahi teras rumahku. Keramik rumahku yang berwarna putih pun kecoklatan terkena cipratan air hujan yang menggenang di sepanjang jalan rumahku yang ramai menjadi lalu lalang warga.

Nduk [3], Ibu mau bicara.”
Pripun [4] Bu?”
Nduk [5], kamu kan sudah tahu Abangmu keuangannya sedang tidak baik-baik saja saat ini. “
Nggih [6] Bu, Yola tahu.”
“Karena hal itu, mungkin untuk pembayaran uang kuliahmu juga terganggu Nduk. Tapi Ibu akan mencoba mengusahakannya.”
Mboten nopo [7] Bu. Yola nanti akan minta dispensasi ke bagian keuangan.”
Suwun Nduk [8]. Kamu ikhlas dan mengerti keadaan kita saat ini.”

Obrolan penting ditemani semburat oranye itu kembali memberatkan langkahku. Ku gapai ponselku, ku buka instagram-ku. Andai-andai ada lowongan pekerjaan yang sesuai dan bisa kukerjakan. Kuayunkan jempol tanganku ke bawah sembari mataku menelisik menemukan kemudahan Tuhan dari layar ponselku.

Hari demi hari, waktu demi waktu, ternyata aku dan panggilan pekerjaan tak berujung temu. Pagi ini sangat syahdu, dinginnya udara pagi itu membekukan kulit-kulit di tubuhku. Rasanya aku tak ingin beranjak dari ranjangku. Tapi tiba-tiba ponselku membuatku terperanjat dari tempat ternyamanku.

“Selamat pagi, maaf saya berbicara dengan siapa?” tanyaku sedikit gemetar
“Selamat pagi. Perkenalkan kami dari Laundry  Bersih Berkilau. Apakah benar ini dengan Kak Yola?”
“Hallo Bu, benar ini saya Yola.”
“Oke Kak Yola. Kami menghubungi untuk menindaklanjuti lamaran pekerjaan yang Kakak ajukan. Mengingat kami membutuhkan pegawai itu segera. Apakah bisa mendatangi toko untuk wawancara lebih lanjut besok pagi pukul 09.00?”
“Wah. Bisa sekali Bu. Untuk alamat toko sesuai dengan yang ada di dalam iklan ya Bu?”
“Betul sekali Kak. Apakah ada yang ingin ditanyakan lagi?”
“Tidak ada Bu.”
“Baik. Saya tunggu kedatangannya Kak Yola. Terima kasih dan selamat pagi!”

Tut..tut..tut panggilan bahagia pagi itu akhirnya berakhir. Semangatku kembali membulat untuk bekerja, apalagi mendengar kabar itu. Tapi hatiku risau, aku belum berani mengatakan ini pada Ibu. Pasti yang ada kekecewaan terlihat pada raut wajahnya, karena Ibu tidak ingin anaknya yang masih bersekolah ini bekerja juga.

Hari berganti, pagi ini sangat cerah. Matahari mengobarkan senyumannya lewat sinar yang terik di pagi hari diiringi hembusan angin sepoi-sepoi mengantarkan langkahku pada Jl. Sawo No. 18. Kuketuk pintu laundry itu dan dipersilakan masuk ragaku ini. Wawancaraku dengan pemilik laundry itu tidak berlangsung lama. Beliau sangat hangat menerima kehadiranku. Kesepakatan final yang menggetarkan hatiku, akhirnya aku mendapat pekerjaan.

Aku mulai bekerja. Menerima cucian pelanggan, menimbang cucian pelanggan, mencatat dalam nota. Kegiatan itu kulakukan setiap waktu. Aku bekerja dengan semangat 45 dengan senyuman bak mendapat bunga bank. Intinya aku menikmati pekerjaan ini. Tak disangka aku sudah sebulan bergelut dengan pekerjaan ini.

“Kak Yola, silakan kemari.” ujar pemilik laundry itu
“Ya Bu. Pripun [9]?”
“Ini Kak Yola, gaji bulan ini. Terima kasih ya Kak, sudah bekerja dengan baik. Banyak pelanggan juga memberi ulasan yang bagus mengenai pelayanan Kak Yola.”
“Terima kasih banyak Bu. Syukurlah saya juga senang mendengar kabar ini dari Ibu.”
“Sama-sama Kak Yola. Tetap semangat ya. Semoga betah bekerja di laundry ini.”

Setelah aku menemui pemilik laundry tempatku bekerja, sore pun menyapa. Waktunya aku kembali pulang tuk menenangkan diri dan merehatkan badan ini. Kususuri jalanan dengan ditemani hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang. Tak kusangka setapak demi setapak kakiku ini membawaku sampai di depan rumah. Begitu sampai rumah, keringat dingin tak terasa menetes membersamaiku melangkahkan kakiku melewati pintu rumahku. Aku teringat bahwa sebulanan ini aku telah berbohong pada Ibu. Aku tidak berterus terang, aku mengumpat di balik kata kuliah. Nyatanya aku tak hanya kuliah. Aku juga bekerja. Aku bersalah Ibu. Maafkan aku.

“Sudah pulang Nduk [10]?” tanya Ibu
Sampun [11] Bu.” jawabku
“Kok belakangan ini pulangnya magrib to Nduk [12] . Tugas kuliah banyak yo [13]?”

Seketika mulutku kaku, aku sudah terlalu dalam memainkan drama ini. Tidak berterus terang pada Ibu. Apakah aku harus berterus terang sekarang juga? atau bagaimana? Dhuh Gusti  minta pertolonganMu.
 
“Anu Bu. Iya.” 
“Lho kenapa Nduk [14]? Kok sepertinya ada yang kamu sembunyikan dari Ibu.”
Mboten [15] kok Bu. Mboten wonten [16].”
Ndak [17] usah menutupinya dari Ibu Nduk [18]. Ada apa?”
“Sebelumnya Yola mohon maaf ya Bu. Tidak berterus terang pada Ibu.” 
“Kenapa Nduk [19]? Ada apa?”
“Sebenarnya selepas kuliah, Yola bekerja di laundry Bu. Sudah sebulan ini Bu. Hari ini kebetulan Yola sudah menerima gaji pertama Yola.”
“Gusti  Allah. Kok ndak [20] bilang sama Ibu? Ibu dulu kan sudah bilang bahwa fokus sekolah saja. Masalah biaya biar Ibu dan Abang yang memikirkannya.”
“Tidak apa Bu. Yola juga tidak berat hati melakukan ini, karena memang ini kemauan Yola.”

Tiba-tiba tanpa kusadari Abang sudah pulang. Lalu menyahut obrolanku dengan Ibu.

“O jadi gini kelakuanmu Yola! Apa kamu tidak percaya kalau Abang dan Ibu mampu menguliahkanmu?”
“Bukan begitu Bang. Yola percaya dengan Abang dan Ibu.”
“Lalu jika kamu percaya kenapa kamu bekerja! Sudah Abang katakan kamu fokus belajar saja. Tak usah merepoti dirimu sendiri. Abang kerja dari pagi sampai pulang larut seperti ini demi apa? Demi mencukupimu Yola! Abang rela perjalanan satu jam setiap harinya untuk sampai ke tempat kerja Abang dan satu jam juga untuk sampai rumah. Panas, hujan badai Abang tempuh untuk memperjuangkan kamu!”
“Maaf Bang. Sekali lagi Yola minta maaf.”
“Kalau begitu perilakumu. Ya sudah mulai sekarang kamu urusi sendiri hidupmu. Tak mau Abang bantu. Kamu sudah bisa cari uang itu sendiri. Kalau ada apa-apa tak perlu datang ke Abang! Abang sakit hati Yola!”
“Bang, maafin Yola. Yola sangat menyesal tidak transparan ke Abang dan Ibu.”
“Terserah!”

Singkat, padat, dan mematikan.

Penulis adalah Andrea Gusti Kinnara Sanjaya
Guru SMK PL Tarcisius Semarang

[1] bagaimana
[2], [3], [5], [10], [12], [14], [18], [19] panggilan anak perempuan dalam bahasa Jawa
[4] bagaimana
[6] iya
[7] tidak apa-apa
[8] terima kasih Nak
[9] bagaimana
[11] sudah
[13] ya
[15], [20] tidak
[16] tidak ada
[17] tidak

Sosial Media Terbaik
Platform Pengiriman Pesan Instan
Platform Sosial Media

Follow Me
Profil Fafa Media di Instagram
Profil Fafa Media di Instagram

Artikel Terbaru