Idelando-Hari masih gelap ketika sepasang sahabat itu berhenti di persimpangan.
Jalan menanjak mengarah ke sekolah dan jalan yang lain mengarah ke hutan bakau
yang berujung muara.
“Belum terlambat?”
Pemuda yang membawa bakul anyaman dari daun lontar tempat menyimpan
ikan mengajukan pertanyaan itu sekali lagi. Sahabatnya yang sudah berseragam
sekolah dengan tas punggung itu menggelengkan kepala. Sekali lagi, sahabatnya
menunjukkan arloji digital yang otomatis memunculkan terang warna putih dengan
deret angka penunjuk waktu.
“Masih 04:40. Dua puluh menit lagi bel sekolahku berbunyi.”
“Jadi sekarang sekolah benar-benar masuk pukul lima pagi? Aku pikir hanya
meme di sosial media.”
Hanya ada anggukan, bukan jawaban lisan. Keduanya hanya diam. Tidak ada
jawaban tetapi saling paham mengenai banyak pertanyaan. Pemuda yang berseragam
dengan tas punggung besar menepuk pundak sahabatnya yang bertelanjang dada.
“Jangan tangkap ikan pakai tuba, ya?” kata pemuda berseragam.
“Kamu juga jangan malas belajar, ya?” sahut pemuda yang lain.
Mereka tertawa bersamaan sebelum keduanya kembali diam dan ambil
langkah. Pemuda dengan seragam dan tas punggung berjalan ke arah sekolah,
sedangkan pemuda yang bertelanjang dada dengan wadah ikan di punggung berjalan
ke arah muara. Mereka berpisah. Tepatnya memilih hidup masing-masing.
Baca juga: Cinta Butuh Waktu
***
Ignatius tiba
ketika mosalaki1 telah
memulai doanya. Beberapa orang di barisan belakang yang sedari tadi khusyuk
sampai menoleh karena mendengar berisik langkah kaki dan engah-engah. Ine2 Marta, tetangga
Ignatius, menatap Ignatius dengan mata melotot dan menempelkan jari telunjuk di
depan bibirnya. Ignatius menunduk malu sembari berjalan sedikit menjauh dari
kerumunan warga. Setelah memastikan sebidang tanah tidak basah, Ignatius
meletakkan tas sekolahnya. Dilepas seragam sekolah dan sepatu miliknya.
Dimasukkan barang-barang itu ke dalam tas punggung. Kemudian Ignatius berganti
celana pendek dan kaus bola kusam yang sedari tadi ada di dalam tas. Buru-buru
ia kembali ke tempat kerumunan warga, mendesak beberapa orang yang masih
khusyuk berdoa, hingga Ignatius berada pada baris depan pada tepi muara.
Angin menghembuskan dingin dan
mengantar sisa gelombang samudra ke tepi muara. Lantunan doa mosalaki seolah meneduhkan gemuruh angin dan berisik laut. Air
laut menutupi mata kaki Ignatius, mata kaki ratusan warga, dan ratusan mata kaki
hutan bakau. Suara kokok ayam bersahutan dan terdengar tidak jauh. Namun
semua yang terjadi di muara siang ini hanya membuat hati Ignatius kian kelu. Jika
bukan karena Fransiskus, sahabatnya, ia tidak akan datang ke Rore Rusa siang ini. Mengapa ia harus
datang hari ini jika ia tidak bisa datang esok hari? Mengapa ia harus ikut
makan rusa dan ayam siang ini jika ia tidak bisa ikut menangkap ikan esok hari?
“Datang saja ke Rore Rusa3. Anggap sebagai perpisahanmu dengan rawa itu,
sebelum ditelan laut yang meninggi atau rapat oleh labirin bakau. Belum tentu
rawa itu masih ada sekembalinya kamu ke sini. Itu juga kalau kamu kembal.” kata
Fransiskus.
“Mengapa kamu ragu aku akan
kembali?” tanya Ignatius pada Fransiskus yang sedari tadi berbicara sembari
mengasah tombak milik baba4–nya.
“Siapa tahu kamu jatuh hati dan
menikah dengan Nona Jawa dan menetap di sana.”
Ignatius dan Fransiskus tertawa
bersamaan.
“Benar, bukan? Kakak-kakak kita
bilang kalau Nona Jawa itu cantik-cantik, sampai akhirnya mereka menikah dan
tinggal di sana. Siapa tahu kamu selanjutnya?” kata Fransiskus.
Lagi-lagi Ignatius hanya tertawa
mendengar celoteh sahabat baik yang sebentar lagi akan ia tinggalkan untuk
waktu yang lama.
Ignatius harus pergi ke sekolah esok
hari. Perguruan-perguruan tinggi dari Jawa datang ke sekolahnya untuk mengadakan
pameran pendidikan. Setiap kampus akan mendirikan stan di aula sekolah, dengan
deretan brosur informasi tentang jurusan kuliah, beasiswa, dan lain-lain di
atas meja. Mereka juga akan mengadakan tes penerimaan mahasiswa. Kepala sekolah
menyampaikan Ignatius dapat diterima tanpa tes melalui jalur prestasi. Ini semua
terjadi karena nilai-nilai Ignatius yang gemilang. Impian Ignatius dan impian
orang tuanya untuk kuliah di Jawa sudah ada di depan mata. Ignatius akan segera
meninggalkan Ende setelah lulus sekolah menengah. Malamnya, orang tua Ignatius
langsung memeluk Ignatius ketika mendengar kabar tersebut dari Ibu Kepala Sekolah.
“Jangan tidur terlalu malam,
Ignatius. Kamu juga tidak usah datang Tiwu5
besok pagi.” kata ine.
Ignatius hanya terdiam dengan
perintah orang tuanya. Sebenarnya ia sudah menduga hal ini akan terjadi.
Awalnya Ignatius masih bisa santai karena biasanya Tiwu dimulai pukul lima pagi. Ia akan ikut Tiwu seperti yang sudah-sudah. Ignatius akan berangkat dari rumah
pukul empat dini hari, pergi ke muara, ikut mencari ikan terlebih dahulu, dan
berangkat ke sekolah pukul tujuh. Namun, semuanya hanya menjadi rencana, ketika
minggu lalu pemerintah memutuskan semua kegiatan belajar di sekolah dimulai
pukul lima pagi. Tidak ada Tiwu. Tidak
ada ikan. Hanya ada kekecewaan.
“Lagi pula sudah jarang anak seusiamu
yang datang ke Tiwu.”
“Fransiskus masih datang.” sergah
Ignatius.
“Itu karena dia anak mosalaki. Lagi pula dia tidak sekolah dan
tidak akan kuliah, punya banyak waktu.” jawab ine dengan nada agak meninggi.
Sadar karena terbawa emosi, ine menghembuskan nafas perlahan. Ia
melanjutkan memotong umbi untuk uwi ai ndota6.
Baba mendekati anak satu-satunya yang
masih terdiam. Mata Ignatius tampak berkaca-kaca ketika baba mengusap puncak kepala Ignatius dengan lembut.
“Baba tahu
kesulitanmu. Semua orang ingin ikut Tiwu. Menangkap
belanak dengan tangan, membenamkan kaki di lumpur dan rimbun lamun. Itu semua
upacara kebanggan kami. Tapi percayalah, kami lebih bangga ketika kamu berhasil
kuliah di Jawa. Kamu bangga jika bisa kuliah di Jawa?”
Ignatius mengangguk. Air matanya mengalir
membasahi pipi mendengar ucapan baba. Baik Ignatius atau baba, mereka tidak menyadari bahwa ine juga meneteskan air mata sembari terus mengolah umbi.
“Biar kami yang datang Tiwu. Kamu pergi ke sekolah.” kata baba.
“Kamu bisa datang ketika Rore Rusa. Ine masak di sana.” sambung ine sembari menyodorkan dua gelas es
sarang burung untuk anak dan suaminya. Mereka bertiga lantas tersenyum dan
melewati malam dengan hangat.
Baca juga: Cinta Tertimbun Batu dan Salju
***
Ignatius terkejut
ketika lamunannya akan peristiwa semalam dikagetkan dengan rasa panas yang
tiba-tiba menempel di pipinya. Fransiskus tertawa sembari menjauhkan daging
ayam panas yang barusan ditempelkan ke pipi sahabatnya.
“Kenapa diam? Tidak suka daging ayam?” tanya Fransiskus sembari terus
tertawa menatap sahabatnya yang masih memegang pipinya yang kepanasan.
Beberapa ayam yang sudah dimasak para perempuan sudah matang. Namun,
beberapa perempuan lain masih tampak mencabuti bulu ayam, menanak nasi,
menjerang air, menyiram daging ayam dengan air panas, ada juga yang sibuk
memastikan nyala api pada tungku. Ignatius juga melihat ine-nya tampak menata kayu bakar yang diambil dari ranting-ranting
bakau kering. Segerombol laki-laki juga tampak bekerja sama memotong rusa menjadi
beberapa bagian. Mosalaki Simon, baba Fransiskus, tampak sedang berbicara
dengan para warga sembari menyantap daging ayam.
“Suatu hari nanti kamu akan menjadi seperti baba-mu, Frans.” kata Ignatius sembari terus memandang ke arah
rombongan warga tempat mosalaki
duduk.
“Tentu. Itu sudah takdirku.” sahut Fransiskus enteng sembari terus
mengunyah daging ayam.
Ignatius juga melahap daging ayam yang tadi dibawakan oleh sahabatnya. Sepasang
sahabat itu mengunyah daging ayam sembari menatap lautan. Mereka duduk pada
salah satu akar bakau yang kuat.
“Kata ine-mu, kamu hanya
datang siang ini.”
Ignatius hanya mengangguk. Fransiskus juga mengangguk, memahami keadaan.
“Kamu sekolah dan kuliah saja. Karena tidak semua orang bisa sekolah,
maka yang bisa sekolah harus sekolah. Biar ilmu jadi urusanmu, dan tanah ini
jadi urusanku.” kata Fransiskus.
“Aku hanya takut tidak bisa ikut Rore
Rusa dan Tiwu lagi, Frans. Kata ine, sudah jarang orang yang datang. Kamu
bisa lihat, jumlah warga yang datang juga berkurang dari tahun ke tahun.” kata
Ignatius sembari menatap para warga di tepi muara.
Fransiskus juga terdiam sejenak, sebelum menepuk pundak sahabatnya.
“Aku akan memastikan Rore Rusa
dan Tiwu tidak akan berakhir, sehingga
ketika kamu pulang ke sini suatu hari nanti, kamu dan mungkin istri-anakmu bisa
ikut Rore Rusa dan Tiwu. Asalkan,…”
Ignatius menoleh.
“Asalkan?” tanya Ignatius mencoba memperjelas ucapan sahabatnya.
Fransiskus tersenyum geli menatap sahabatnya.
“Asalkan kamu kembali atau mampir ke sini, sekali pun sudah menikah
dengan Nona Jawa.”
Kedua sahabat itu tertawa lantang bersamaan sebelum dipanggil oleh
beberapa perempuan untuk membantu mengumpulkan ranting bakau kering. Langit
mendung, tetapi tiada ombak garang yang sampai ke muara. Air laut pasang hanya
mampir dengan santun tanpa mengacaukan para warga di tepi muara. Hari kian
teduh dengan obrolan hangat orang-orang desa di tepi muara yang mulai menggilir
cawan arak.***
Madiun, 5 Maret 2023
Catatan
Mosalaki = sebutan ketua
adat di Ende.
Ine = panggilan Ibu
di Ende.
Rore Rusa = upacara adat
masyarakat Ende yang dilakukan dengan menyembelih rusa satu hari sebelum Tiwu.
Baba = panggilan
Ayah di Ende.
Tiwu = upacara adat
masyarakat Ende yang dilakukan dengan menangkap ikan di laut hanya dengan tangan.
Uwi ai ndota = salah satu
makanan khas Ende
Penulis: Kristophorus Divinanto Adi Yudono–biasa dipanggil Divin. Lahir di pesisir
pantai selatan Jawa, kota Cilacap, Jawa Tengah. Kegiatan menulis dilakukan di
tengah rutinitas mengajar dan membaca manga One Piece.
Saat ini tinggal di Madiun, Jawa Timur.
Narahubung: 085869696258