image |
Di Passiliran2 ini, kendati begitu ringkih, tubuh Indo3 tidak pernah menolak memeluk anak-anaknya. Di sini, di dalam tubuhnya—bertahun-tahun kami menyusu getah. Menghela usia yang tak lama. Perlahan membiarkan tubuh kami lumat oleh waktu—menyatu dengan tubuh Indo. Lalu kami akan berganti menjadi ibu—makam bagi bayi-bayi yang meninggal di Toraja. Bayi yang belum tumbuh giginya. Sebelum akhirnya kami ke surga.
Beberapa hari yang lalu, kau meninggal—entah sebab apa. Kulihat kerabatmu menegakkan eran4 di tubuh Indo untuk mereka panjati. Sudah kuduga, kau keturunan tokapua5, makammu harus diletakkan di tempat tinggi. Padahal kau, aku, dan anak-anak Indo yang lain, kelak di surga yang sama. Pagi-pagi sekali, kau berdiri di ambang bilik—mengetuk pintu ijukku yang rontok sebab bertahun-tahun tak diganti.
”Boleh masuk?”
Aku mengangguk, takut salah bicara dan kau akan murka. Bagi tomakaka’6 sepertiku, tak ada yang lebih hina dari salah bertutur kepadamu.
”Maaf,” bukamu, ”sudah seminggu saya di sini, tapi saya sepertinya masih sangat asing.”
”Saya dan anak-anak Indo yang lain juga minta maaf, kau tahulah kami ini hanya tomakaka, bahkan ada tobuda7, tak seberapa nyali kami untuk melancangi kaum junjungan sepertimu.”
Air matamu jatuh, luruh satu demi satu. Apa yang salah dariku, atau darimu, Runduma? Iya, kutahu namamu dari Indo, malam setelah kau makam di tubuhnya, Indo menerakan segala perihal kau, mesti tak jelas dan tentu saja samar-samar. Kau membawa banyak luka dari dunia?
”Di dunia, saya junjunganmu. Tapi di sini beda…,” kau menggantung, wajahmu kian rusuh, adakah yang kisruh di pikiranmu? Kemudian, tangisanmu keras, bertambah deras buyar air matamu.
”Lola Toding?”
Aku tergagau. Kau tahu namaku? Ah ya, pasti Indo yang memberi tahu. Kau duduk geming—wajahmu tampak ragu.
”Ceritalah!” terkaku, dan aku yakin kau ingin menerakan sesuatu.
”Jangan sampai yang lain tahu, kau bisa menjaga rahasia, kan?” Aku mengangguk meyakinkanmu. Kau menimpalkan senyuman lantas memulai kisahmu, dengan dada yang kelihatan sesak. Koyak.
Tongkonan8 tampak gegap malam itu. Suara-suara riuh. Wajah-wajah penuh peluh. Orang-orang berlibat bicara. Sesaat situasi menegang ketika seorang lelaki paruh baya memegang leher baju pemuda yang wajahnya kusut. ”Pemuda kusut itu ambe9ku.” Kausela ceritamu sendiri. Aku mengangguk, memberimu isyarat melanjutkan cerita.
Ambemu diam dalam simpuhnya. Ia tertssunduk lesu. Matanya berkaca-kaca seperti hendak marah namun tak sanggup.
”Dia sudah menyalahi pemali mappangngan buni10. Ia berzinah,” geram lelaki paruh baya itu. Dia kakekmu, Runduma? Betul. Kau mengangguk.
Ambe dan indomu pacaran. Bukan lantaran mereka saling mencintai sehingga adat tak adil padanya. Bukan. Seperti yang kauterakan; orangtuamu itu kedapatan saling tindih di semak belakang tongkonan sebelum resmi menikah. Untung yang menemukan mereka kerabatmu juga sehingga tak ia sebar kabarnya ke penjuru kampung.
Pagi mulai beranjak menjejak siang. Kutahu itu dari getah putih yang mulai tak deras mengucur dari tubuh Indo. Ceritamu belum selesai.
”Besok saya lanjutkan, Toding,” cetusmu.
”Kau janji?”
”Pasti saya cerita!”
”Janji jangan panggil Toding, itu nama lelaki, nama ayahku. Lola saja,” gelakku.
Kau tersenyum, tampak geli mendengarku.
Awan Agustus meriung di langit Toraja. Derau angin merontokkan rambut-rambut Indo yang kecoklatan. Aku duduk di ambang bilik, melempar tatap sejauh mungkin. Sebentar lagi, mungkin jelang beberapa hari Toraja akan riuh. Kudengar kabar, keluarga Allo Dopang akan mengadakan rambu solo11 untuk mayat tanggungannya yang masih sakit dalam tongkonan. Ingin rasanya aku mengajakmu ke sana. Paling tidak, di sana kita akan melepas rindu pada sanak kerabat. Bukankah, bagi kita anak-anak Indo, surga kecil adalah senyuman kerabat. Atau kau ingin bertemu orangtuamu? Ikutlah denganku, Runduma, aku yakin acaranya pasti meriah. Akan ada puluhan kerbau yang dipotong, babi juga pasti banyak.
”Toding,” tegurmu melamurkan lamunku. Aku berbalik badan. Menatapmu tajam.
”Eh, maaf, maksud saya, Lola,” tambahmu lekas.
”Ada apa? Mau melanjutkan yang tak sampai waktu itu?”
”Punya waktu?”
”Silakan,” timpalku tanpa menjawab basa-basi mu.
Ambemu tokapua, sama seperti indomu, tak ayal, rampanan kapa12 harus dihelat mewah di tongkonan mereka. Tak boleh tidak. Kalau lancang menghindar, tulah akan menimpa. Katamu, kematianmu berawal dari sana. Kendatipun bukan pokok perkara, pernikahan mewah orangtuamu yang membuatmu mati sebelum sempat mengecapi dunia lebih lama. Sama sepertiku. Seperti anak-anak Indo yang lain.
”Pernikahan mereka lancar, hingga saya lahir dan berusia lima bulan. Semuanya berakhir begitu saja.” Kau tersedu. Tidak dapat melanjutkan kalimatmu. Lelaki dapat koyak juga, batinku. Tak sadar, kini kau telah merasuk dalam pelukanku.
Malam itu, malam terakhirmu di dunia. Kau mengembuskan napas penghabisan di tangan kedua orangtuamu. Mereka tak pernah akur setelah rahasia pernikahannya terbongkar. Ambemu menanggung borok utang. Sebagai kaum bangsawan, ambemu wajib membayar dengan dua belas kerbau dewasa untuk menyunting indomu. Jadilah ia memungut uang di kiri-kanan, tentu dengan bunga yang tinggi. Setelah lebih setahun pernikahan mereka utang ratusan juta itu belum juga dapat ambemu lunasi. Ia jadi sering marah. Memukuli dan mengumpati indomu. Kau sial malam itu, Runduma. Dari gendongan indomu kau terpental setelah ambemu tak lagi meredam amarahnya sehingga ia melompat dan mendorong indomu hingga tersungkur. Indomu meringis. Kepalamu mendabik keras lantai tongkonan. Sesaat hening. Kemudian suasana keruh. Rusuh. Ambemu kalap. Gelagapan. Indomu merasukkan tubuhmu ke gendongannya.
”Saya merasa napasku berat malam itu. Lalu tersengal-sengal,” katamu, dan kau semakin rapat dalam pelukanku.
”Kau ingat semuanya?” tanyaku penasaran.
”Tidak semua, tapi beberapa kejadian di jelang kematianku masih kuingat meski agak samar,” jelasmu.
Ambemu panik. Indomu jangan ditanya lagi. Ia kehilangan daya ketika melihat tangannya yang menadah kepalamu memerah darah. Di gendongannya kau dibawa lari ke muka tongkonan, ia berteriak.
”Tidak ada yang mendengar. Kupikir semuanya telah kalap dalam lelap.” Kau menukas kisahmu dengan pernyataan yang seakan-akan kausesali.
”Jadi kematianmu hanya disaksikan ambe serta indomu?”
”Tidak juga,” lantas jawabmu. ”Saat Puang Matua13membawa arwahku, masih sempat kulihat Tanta Mori—adik perempuan Ambe menangisiku yang telah kaku di gendongan Indo.”
Kau menutup ceritamu dengan mengatupkan rapat lenganmu ke tubuhku. Kau memelukku lama. Lama sekali hingga kurasakan perasaan aneh terus menjalariku. Apakah ini cinta? Semoga tidak.
”Saya tak punya siapa-siapa,” selamu mengantarai isakanmu sendiri.
Kutepuk halus pundakmu, ”Ada kami dan Indo. Jangan bilang begitu.”
Perasaan aneh itu bertambah hebat dan akhirnya benar-benar merisakku. Aku mencintaimu, Runduma.
Pagi turun bersama kabut yang menutupi tebing-tebing batu dan kekar akar-akar yang menjulangkan pohon di bukit Toraja. Rumah kita dingin sekali pagi ini. Aku tengah menyusu. Riuh suara-suara terdengar di halaman passiliran. Runduma, kau datang padaku pagi itu dengan wajah yang menyimpan banyak cerita. Aku tahu itu. Kau lantas mengajakku masuk bilik dan duduk berhadapan.
”Lola, kau tahu siapa yang jadi memandu turis-turis itu?”
Aku menggeleng. Bingung.
”Sini, sini,” kau tarik tanganku lalu bersama kita singkap ijuk bilikku.
”Itu, tuh…”
Aku menelisik kerumunan orang yang sibuk berfoto di depan Indo.
”Yang pakai kacamata?”
”Bukan!” tukasmu.
”Yang berbaju coklat, pasti itu!
”Itu Ambe,” kau lesu mengatakannya. Wajahmu tampak begitu kisruh Runduma.
Kau tampak sedih hari ini. Padahal seharusnya rindumu terobati dan kau tak boleh menampung begitu banyak muram di dadamu. Lama sekali kita berdiam di ambang bilik menyaksikan pongah pengunjung dan tawa mereka yang kerap memilukan kita.
”Ambe menyambi pemandu saat bulan-bulan wisata, di hari biasa ia menggarap sawah.”
”Lihat, dia tahu banyak tentang Indo.” Kuarahkan pandangan ke ambemu. Ia tengah menjelaskan kepada turis-turis itu tentang passiliran ini.
”Ia bekerja sejak lajang.”
”Pantas!” anggukku.
Pagi tidak datang seperti biasa, lambat—lamat-lamat. Hari ini pagi dibangunkan oleh Indo, passiliran gempar. Indo murka. Anak-anaknya ketakutan. Rambut-rambut Indo berguguran. Meranggas satu-satu. Getahnya mengucur deras menjadi air mata.
”Kau di mana, Lola?”
Suara Indo bergetar memanggilku. Lantang seperti nekara ditabuh. Aku bergidik mendengarnya. Namun tak bisa menyahut.
”Di mana kau, Lola?” tanyamu dalam isakan. ”Mengapa kau pergi, saya mencintaimu.” Suaramu membuat debaran aneh itu kian menjalariku. Kau mencintaiku juga, Runduma?
Indo masih murka. Hampir tumbang tubuhnya lantaran tak dapat memendam dendam. Ia kehilangan anaknya. Semalam, tanpa ada yang tahu, ambemu, Runduma—membawa mayatku yang hanya tulang berbalut belulang. Ia menjualnya seharga ratusan juta rupiah kepada turis yang kemarin ia temani. Sekeras mungkin kuteriaki kau yang masih bersimpuh di bilikku yang kini kosong. Dari sini, antara surga dan passiliran arwahku tergantung tak jelas. Sebab tubuhku tak lagi menyatu dengan Indo. Aku mencintaimu, Runduma. Kuyakin kau tak mendengarnya.
Catatan:
1. Tarra: pohon besar berdiameter hingga 3 meter yang dijadikan tempat mengubur bayi di Toraja.
2. Passiliran: kuburan bayi di Toraja, dibuat di pohon tarra. 3. Indo: ibu
4. Eran: tangga
5. Tokapua: golongan bangsawan/kasta tertinggi
6. Tomakaka: kasta menengah
7. Tobuda: kasta terendah
8. Tongkonan: rumah adat Toraja
9. Ambe: ayah
10. Pemali mapangngan buni’: larangan berzinah
11. Rambu solo: perayaan kematian di Toraja
12. Rampanan Kapa: pesta pernikahan
13. Puang Matua: Tuhan
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Dua Orang Sahabat