Tumbal


“Sudah beberapa minggu Ande kurung di kamar itu. 
Ia tak pernah keluar untuk merasakan sejenak kebahagian di luar
kamar. Suasana semakin berubah. Banyak orang lalu-lalang melintasi kamar tidur
Ande tanpa memanggil. Ande seperti yang kemarin-kemarin. Semua takut.
Takut dengan apa yang sedang terjadi.”

***

Setiap jam enam sore waktu Indonesia bagian tengah Agus_ayah Ande_selalu
saja keluar rumah mengenakan nae songke [1] sambil membawa sebuah
parang yang diikat pada pinggang yang tampak seperti sisa tulang saja. Tak ada
satupun orang di desa yang mengetahui urusan yang sedang dituntaskan oleh ayah
Ande sehingga setiap pukul enam petang, beliau selalu saja keluar rumah.
Ketika Maria, ibu Ande bertanya mengenai kesibukkan yang
diakukan ayah Ande, beliau selalu membendung semua pertanyaan itu dengan
menjawab “Kau tidak tahu Maria. Setiap sore saya keluar rumah untuk mengambil
obat di pu’u wae [2] agar Ande dibebaskan dari segala sakit dan
penyakitnya”.

Baca juga: Kepada Monica

Memang ayah Ande selalu pulang larut malam. Ketika
banyak orang di desa sudah tidur pulas menikmati istirahat malam. Dengan
mengenakan nae songke  yang sedikit kusam dan pudar warnanya,
Agus berjalan sendirian. Jalanan yang lengang serta sepi yang bertakhta penuh
membuat suara langkah kakinya masih terdengar sekalipun ia telah berusaha
menyembunyikan bunyi derap langkah itu. Maria sempat menanyakan obat yang Agus
janjikan setiapkali ia pulang rumah pada malam hari. Namun Agus selalu
menjawab:

“Maria kau harus bisa bersabar. Di pu’u wae  obatnya
tiba-tiba hilang karena saya terlambat tiba di sana.” Maria melotot memandang
antara percaya dan tidak percaya. Memang jawaban dari Agus sangat-sangat
misteri.

Setiap kali menjawab pertanyaan dari Maria mukanya selalu
berpaling dan perlahan mengambil arah jalan ke belakang rumah. Kadang juga
mukanya merah muda. Sudah beberapa kali pulang malam tanpa membawa obat yang
sering ia janjikan.

Malam itu suasana di rumah Ande dipenuhi oleh
kawan-kawan Ande dan beberapa orang tua lainnya untuk menemani Ande sebagai
bentuk rasa kekeluargaan walaupun beda darah. Dari dulu kebiasaan di desa
memang begitu. Setiap kali ada yang sakit, banyak orang dan ase kae [3] yang
berkumpul untuk menjaga pada malam hari. Mereka semua menceritakan banyak hal
sambil ditemani segelas kopi yang kadang-kadang diganti dengan sopi, minuman
beralkohol khas daerah kami. Ito saudara sepupu Ande sempat memberi
tawaran kepada Maria untuk sekali lagi pergi ke puskesmas supaya mengecek
penyakit yang menggerogoti tubuh Ande.

“Mama Maria, alangkah baiknya kita pergi lagi ke puskesmas
untuk mengecek penyakit ini.” Ito menawar dengan mata yang tidak berkedip,
mengisyaratkan agar Maria menyetujuinya.

“Itu tadi Nana [4], mama sering berpikir seperti itu.
Tetapi Agus bapa tuamu itu tidak pernah mengiyakan. Katanya penyakit yang
diderita Ande harus dituntaskan di kampung. Ini sakit kampung. Orang-orang
yang pintar di puskesmas tidak akan mampu menemukan obatnya. Dokter sekalipun
tidak akan bisa. Tidak sama sekali. Semuanya harus selesaikan di sini.” kata
Maria dengan beberapa kata yang nyaris tengelam dalam getar nada suara.

Baca juga: Ras Terkuat di Bumi

Beberapa detik kemudian Ito berjalan keluar rumah melalui
pintu samping pada malam hari. Ande masih berbaring di tempat tidur penuh
dengan ketidakberdayaan. Tidak ada suara apa-apa di dalam kamar tidur selain
teriakkan “Campe campe…[5]”. Suara teriakkan Ande meminta
pertolongan. Teriakannya penuh dengan ketidakberdayaan. Mendengar itu, semua
orang di dalam rumah matanya berkaca-kaca. Air mata mulai tergenang di kelopak
mata akibat kesedihan tak terelakkan, sedangkan Agus ayah Ande segera
bergegas keluar rumah dengan keadaan terburu-buru. Ia berjalan dengan langkah
kaki yang lebih cepat dari biasanya.

“Agus kau mau ke mana lagi? Tidakkah kau bosan dengan obatmu
di pu’u wae  itu. Pulang larut malam tanpa membawakan apa-apa.
Dasar laki-laki kolot.” celoteh Maria sambil membersihkan beberapa piring kotor
di samping rumah. Namun Agus tak menoleh dan terus saja berjalan.

Malam itu orang-orang di rumah Ande tidak terlalu
banyak. Berbeda sekali dengan malam-malam yang sebelumnya. Yang tersisa hanya
Ito saudara sepupu Ande dan beberapa keluarga lainnya. Malam itu,
kebanyakan orang di rumah Ande tidur lebih awal dari biasanya. Barangkali
mereka lelah. Dari malam ke malam menjaga Ande yang semakin tak berdaya. Mereka
tak tahan melawan rasa ngantuk yang selalu saja menyerang saat duduk bersama
untuk berbicara ini-itu. Ito sempat menduga-duga ada yang tidak beres dengan
bapa tua Agus “Jangan-jangan penyakit yang mengidap Ande saat ini datang
dari bapak Agus” kata Ito dalam hatinya. Ito yakin sekali suatu saat nanti apa
yang ia fikirkan benar-benar terjadi.

Malam itu penyakit yang menyerang Ande sepertinya lebih
ganas dari biasanya. Itu semua tampak jelas ketika mendengar Ande menjerit
minta tolong: “Tuhan tolong, tolong anak-Mu ini”.

“Mama sebaiknya kita bawakan Ande sekali lagi ke 
puskesmas sekarang.” Ito kembali menyampaikan keinginannya mimik wajah cemas.

“Baik Nana kali ini mama sangat setuju, tetapi kita
tunggu Agus pulang dulu.” Maria membalas disertai dengan rasa khawatir. Selang
beberapa detik Agus tiba di rumah tanpa membawakan obat yang sering ia katakan
itu. Semakin lama teriakkan Ande semakin menggelagar di ruangan kamar
tidur:

“Ema campe… campe aku[6]”.

“Bapa bagaimana kalo sekarang kita bawakan Ande ke
puskesmas” Ito mulai memberanikan diri untuk berbicara dengan Agus.

“Apa yang dikatakan anakmu tadi itu benar Agus. Sekarang
anakmu Ande sangat menderita di dalam kamar. Jangan terlalu berharap
dengan obat ramuan di pu’u wae.” seru Maria menyakinkan Agus.

“Maria sudahku katakan padamu penyakit ini harus urus di
kampung. Beberapa kali kita keluar masuk puskesmas namun toh penyakit ini tidak
ditemukan juga.” Agus membalas dengan pandangan mata melotot.

“Agus kali ini saja. Kita harus ke puskesmas lagi untuk
mengecek kesehatan Ande. Jikalau kau tidak mau, biar aku urus sendiri
semuanya.” kata Maria dengan nada yang sedikit marah.

“Maria kau harus mengerti dengan keadaan. Sudah-sudah…
sekarang kau uruskan barangnya dan saya menelpon ambulancenya.” jawab Agus
sambil berjalan ke arah belakang untuk mencari sinyal. Maria kemudian berjalan
ke kamar Ande untuk menyiapkan beberapa perkakas yang diperlukan di
puskesmas nanti.

Tidak lama kemudian terdengar tangisan Maria dari dalam kamar
tidur Ande. Nyawa Ande tidak tertolong lagi. Mendengar itu Agus
menarik napas dengan lega sambil bergumam:

“Semuanya sudah selesai”.

Selama ini Ande mengidap penyakit yang sangat misterius.
Di laboratorium kesehatan manapun, penyakit Ande tidak akan bisa
terdeteksi. Kecurigaan Ito tidak melenceng. Ini semua gara-gara Agus. Ande meninggal
karena Agus berjalan setiap malam untuk mecari tumbal sesuai dengan
perjanjiannya dengan setan dan roh jahat di pu’u wae. Ketika Agus
gagal mendapatkan tumbal, nyawa Ande melayang. Ande adalah tumbal
yang dikorbankan oleh Agus. Ternyata selama ini Agus ata mbeko[7].

“Sudahlah Maria, semua manusia tercipta dari tanah dan
kembali pada tanah.” Agus membujuk Maria dengan sedikit suara yang patah-patah.

 

Keterangan:

[1] Nae songke  merupakan hasil tenunan
orang-orang di wilayah Manggarai.

[2] pu’u wae sebutan orang Manggarai yang artinya
mata air

[3] Ase kae (kakak adik) adalah saudara kandung dan
saudara sepupu serta saudara lainnya. Istilah ase kae secara luas,
misalnya saudara sekampung (Ase kae beo).

[4] Nana merupakan sapaan yang digunakan untuk menyapa
anak laki-laki dalam bahasa Manggarai

[5] Campe adalah sebutan orang Manggarai yang
artinya tolong atau bantu.

[6] Ema campe, campe aku merupakan sebutan orang
Manggarai dalam meminta bantuan atau pertolongan dari seorang ayah.

[7] Ata mbeko sebutan orang Manggarai yang artinya
orang dukun.

 

Penulis bernama lengkap Yulianus Risky Agato merupakan
siswa SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo. Beberapa karya dari
beliau telah dimuat dalam beberapa media online lainya.

Read More

Sosial Media Terbaik
Platform Pengiriman Pesan Instan
Platform Sosial Media

Follow Me
Profil Fafa Media di Instagram
Profil Fafa Media di Instagram