Data Kumpulan Buku Puisi
Judul : Skenario Menyusun Antena
Penulis : Galeh Pramudianto
Penerbit : Indie Book Corner, Yogyakarta
Cetakan : I, 2015
Tebal : iv + 222 halaman (131 puisi)
ISBN : 978-602-3091-17-1
Penyelaras aksara dan penata letak : Pertiwi Yuliana
Desain sampul dan ilustrasi : Hanny Atalie Dethasya
Skenario Menyusun Antena terdiri atas 3 bagian, yaitu Skenario Menyusun Antena (57 puisi), Fabula dan Simptom Kamar (42 puisi) dan Layar Itu Tak Sempat Mengunjungi Kabar Engkau (32 puisi).
Sepilihan puisi Galeh Pramudianto dalam Skenario Menyusun Antena
KAWAT BERDURI
1998. aku jalan-jalan saja. kawat berduri. aku makan-makan saja.
bakar-bakar. aku jalan-jalan saja. koyak-moyak, kebiri. aku
makan-makan saja. gas air mata. aku ongkang-ongkang kaki saja.
baku hantam. aku baca buku saja. jarah! sejarah tak akan
bernanah. aku nonton televisi di atas genteng rumah. berdarah-
darah. aku mandi pake sabun saja. bising politik, gaduh suara-
suara. aku belum lahir saja. aku masih aku yang lain di
demonstrasi uang jajan membeli mobil-mobilan. ini bukan aku
saja. maaf, aku masih bau pasar dan kamar di congor dan tengik
riwayatku sendiri.
TINGGAL BAHASA
Aku rindu eskalator yang membawaku sampai di lembah baju-
baju. Kentang goreng, susu kotak, dan jus melon merekah dalam
kantong belanjaan. Aku rindu ruang merokok, yang
menggendongku beristirahat pada pekat polusi kota,
menenangkan dalam sebungkus hisap lesap.
Aku rindu pada ibu yang berbincang dengan kliennya bersama
donat dan moccacino di sudut ruko-ruko. Aku rindu bertemu Wiji
dan Warhol. O, apa mereka sarapan satu meja? Aku rindu pada
billboard di bulevar, menyalak, memeluk tubuh haus ini dalam
dekapan kaleng soda. Di praja aku tertinggal oleh lampu-lampu,
ditawan kartu kredit dan dijajah gosip-gosip. Kini hanya
bahasaku sahaja yang masih setia mengampu.
HANYA ENGKAU YANG BISA MEMBERI
JUDUL SAJAK INI
Rumah itu kosong. Tak ada lagi proyek-proyek. Cerobong asap
sudah mencair.
Engkau berbudaya ya? Tidak, aku barbar dan primitif.
Aku masih pada kiblatmu.
Begini ya, engkau harus tahu banyak dari aku-aku lainnya.
Tahu itu akan mendarat pada dirimu sendiri.
Begini ya, hanya engkau yang bisa memberi judul di sajak ini
Apa engkau masih percaya pada suara-suara dirimu sendiri
sayang?
Aku masih percaya, hanya engkau.
Hanya engkau yang bisa memberi judul di sajak ini
maka, letakkan kembali otakmu ke pangkuannya
jangan kau jemur selalu,
kering kerontang dapat melelehkan pikiranmu.
Kasihku, kumohon beri judul pada sajak ini
Kalau tidak, nanti aku bisa tenggelam di antara sajak-sajakku
sendiri.
HOTEL
bunyi langkah kaki di tengah perut membal
suara dari luar mengetuk, pesanan datang.
mulutmu bau, oleh cuaca yang sering kamu manjain
suapaya kamu bisa makan dengan menu berbeda setiap hari.
bunyi seruan virtual di bawah kantung mata
telingamu budek, oleh suara yang menghasutmu
agar terus mondar-mandir tanpa bibir
bintik-bintik berkilauan, semilir angin menyibak.
bunyi kertas berserakan di atas lubang merah
jas dan koper berkeliaran
belum pada tidur
menjaga kita dari macam-macam kesibukan
bunyi jam dinding di samping jendela
badamu apek, oleh waktu yang sering kamu godain karena detik
bisa kamu ubah lewat jam tanganmu. wisata jarum ke jarum.
otakmu beku, oleh kota yang sering kamu pukulin karena
empuknya bukan main. lalu, kapan aku mampir ke dusun
surgamu?
AIUEO
seringkali kita bersuara
pada banyak muka romantika
yang kau tanam di paru-paru,
dan diluapkan lewat horison
menggema bersama mega, angka dan peristiwa-peristiwa.
KAU SELALU INGAT
kau selalu ingat dengan
perjumpaan mata yang tiba-tiba
di sudut rak buku perpustakaan
kutemui kau dalam sunyi yang gaduh
yang tenang dalam pandangan,
yang berisik dalam gemuruh jantung
kau selalu ingat dalam lautan wacana,
yang mengabdi pada kalimat padat
senantiasa memeluk kita dari kepayahan makna
kau selalu ingat pada halaman berapa kita dipertemukan buku
lalu bersimpuh pada lipatan kertas yang aku tandai
bersama jari lentikmu
kau selalu ingat lewat jalan mana kita akan tiba pada rumah
yang kita bangun beratap pada dongeng,
berbantal peribahasa
dan berselimut puisi
kau selalu ingat akan ingatan yang suka lenyap
diterkam kebuasan jam tangan yang telah kehabisan baterai
karena aku malas menggantinya dengan yang baru
kau selalu ingat pada bab dan paragraf berapa kita tersesat
dalam peran yang mencoba menculik kita
lewat asa dan subteks
yang kita kunyah sehari-hari
kau selalu ingat akan pertunjukan-pertunjukan kitsch
yang kita tonton karena hanya
merasa tidak enak saja
terhadap undangan teman yang dialamatkan
pada kita
kau selalu ingat di malam cepat saji, berlaut telur mata dingin
dan cerita-cerita yang sulit diterka
karena terlalu asin telur mata dingin
dan terlalu manis minuman
yang awalnya dipesan tanpa gula saja
kau selalu ingat bersama ingatan kita yang mulai lumpuh
diserang kawanan hanyut dan takut. kau masih ingat.
BIOGRAFI 60 DETIK DIMULAI DARI SEKARANG
Dalam hulu kata, aku telan bersama pijakan otak dan tubuhnya.
Di Lapangan Padat Malna
Di lapangan tandus, ada gedung-gedung bertingkat tumbuh di dadanya.
Langkah Landas Mas Iswadi
Di Cikini dan Kalibata. Kutipan orang gila di latihan. Cakra.
Taksu. Klakson di punggung mereka, dada di badan menyamar.
Meteor dan galaksi dalam sebungkus mi instan. Kopi menyulam,
dan rokok yang ditangguhkan. Lorong hening. Haru bening.
Bilik Pramoedya
Ia kentalkan mata pada halaman pekat perjuangan
Dalam Celana dan Kopi Jokpin
Dalam celana, ia sahur kopi dan membatalkan puasanya lewat puisi
Pada Basah Sapardi
Pada basah, ada air dari langit pada genggaman topinya.
Terselip huruf kecil memandang dari balik kacamata. Pada
basah ada berita becek di meja laptopnya
Di Sudut Meja Goenawan
Ada air mengalir dalam kekanakan matur tempat pensil dan
robekan kertasnya.
Di Teras Tempat Sitor
Darah mengalir dari saku baju yang terbuat dari kota, bangsa dan
kepulangan kesekian kalinya
Dalam Rambut Saut
Tersesat ribuan kilometer dalam pijar lampu dan akar tumbuh
subur di kepalanya
Celah-celah Kang Iman
Mengolah abdi di keramaian pagi yang khusyuk
Kacamata Bang Madin
Drama dan peristiwa, membangun teman dan taman-taman
Almanak Nano
Kalender kian bersepakat dengan jadwal tidurnya
Instagram Agus Noor
Cerita lahir dari citra padat.
M Aan Mansyur
“Huruf besar telah mati!” katanya kepada tuhan, menolak
keangkuhan.
Bakti Bakdi
Senandika pada yang seni
Rencana Drama
Rencana Rendra sebagian atau sudah semua dilakukan
Ayat Tambayong
Surah-nya dibaca secara seksama dengan seterang rambutnya
kata
Baju Ungu Bunda
Di baju ungunya, ada gema nurani berpantul di kancing baju dan
mata ketiganya. Anak duka dari bom perang, memeluknya
bersama mujahid kata.
Trisno Sumardjo
Mahakarya tersembunyi dalam gaduhnya seni-seni
Simulasi Baudrillard
Aku beli televisi di dalam Disneyland pagi hari
Absurditas Camus
Bolak-balik gunung, lelah mendarat pada asing yang
memberontak.
Dalam hilir dan obituari kata, kusumpahi sajak yang angkuh dan
sok tahu ini.
SALJU DI LOTENG TETANGGA
: Arman Dhani, Adimas Immanuel & Andi Gunawan
/1/
reklame melantunkan decit-decit risau
spanduk menggugurkan rona, parasnya menebarkan peluh
dalam jari-jari dan angin malam
khatam coba turun menyibak rinai
menunaikan senyap peranjat di layar dan snob itu.
/2/
nyeri telah setia pada hari berulang-ulang kali
macapat menggoreng sentak dingin dan piruk liuk
meringkuk menonton tirai dan salam badai
yang aku bertanya pada kecemasan melipat dada.
/3/
ada butir salju di wajan nyiprat itu
buihnya memantik-mantik di kaca-kaca
di atas loteng, di bawah tempat duduk
peneroka membaca kita di sepi-sepi hingar ini.
KAMAR GOSOK
baju-baju menggosok tubuhnya sendiri:
menjual basah dan keriput pada lipatan bahannya
lecak dan bercak pada sudut-sudut keramaian
meminta wangi pada tumpukan keringat kita.
RUANG OPERASI
ananda, jarum suntik itu masih meliuk dan tak mau pamit. ada dua
yang kau inginkan:
tak ada rotan cari ke hutan atau menang jadi pulang, kalah jadi
tanah.
KWATRIN AVONTUR
Alam tak perlu kau bela
Mereka tahu kemana nasibnya
Seperti debu yang datang tiap waktu
tak perlu kita mandikan selalu.
SINYAL TEH DAN ANTENA KOPI
kau adalah secangkir hangat
menenangkan memijat tenggorokan kerap kemarau
kau adalah seteguk rusuk mengaduk sunyi bersama pagut
bersamamu kita duduk menata gula,
hingga anyir itu nestapa dan moksa
kau adalah teh yang aku sesap
sebelum purnama jatuh
aku adalah kopi yang kau peluk
sebelum matari menari.
HALO
– dari riwayat telepon
Halo!
Iya? Ini siapa?
Halo. Kenapa?
Iya! Ini siapa?
Halo! Ya.
Ya. Ada apa? Ini siapa?
Bisa bicara dengan telepon?
Oh, maaf salah sambung.
Halo! Halo!
Tut. Tut. Tut.
Halo!
Iya? Ini siapa?
Halo. Kenapa?
Iya! Ini siapa?
Halo! Ya.
Ya. Ada apa? Ini siapa?
Bisa bicara dengan halo?
Oh, maaf, halo sedang jalan-jalan.
Halo! Halo! Halo!
Tut. Tut. Tut.
SWAFOTO
Tanganmu basah. Meja makannya banjir. Selfie. Lautnya kering.
Pasirnya tandas. Selfie. Gunungnya terbang. Pohonnya dansa.
Selfie.Mobilnya minjam. Rodanya bundar. Selfie.Panggungnya
roboh. Lampunya tandas. Selfie. Bajunya basah. Keringatnya
kering. Selfie. Rumputnya ranggas. Sayap belalang patah. Selfie.
Kotanya olahraga. Jalan tidur siang. Selfie. Rambutnya belum
keramas. Ketombe perang. Selfie. Keringatnya loncat. Jerawat
debat. Selfie. Nasinya belum matang. Piring belum dicuci. Selfie.
Buku belum dibaca. Kata-kata sidang isbat. Selfie. Bon lecek.
Angka-angka muncrat. Selfie. Kameranya lagi dipinjam. Tangan
keseleo. Selfie. Mukanya lagi disewa. Mata sedang kondangan.
Selfie. Fotonya nyebur ke sumur. Bayangannya tamasnya ke pusat
perbelanjaan di desa. Selfie menuju 30 detik dari sekarang.
ADI
mereka meyakini, semakin ke sini
manusia tidak membutuhkan kitab-kitab
rumah ibadat dan nabi. karena mereka tau
kitab-kitab, rumah ibadat, dan nabi telah menjelma:
jalan layang, hotel, buku, sekolah, dan telepon genggam
yang bisa ditemui untuk berkonsultasi
sambil ngopi di meja kerja-Nya
SKENARIO ARUS MUDIK
Jika ingin menemani, maka doa-doa dan rezeki dari manusia desa
ke kota, kota ke desa akan tiba pada perjamuan tiap tahun itu, kata
manusia-manusia. Napas ke napas, langkah ke langkah, umur ke
umur mengepung jalanan tiap lebaran. Tak peduli siapa, apa,
bagaimana, berlayar ke pangkuan genus lahir adalah ritual. Orang
tua yang kesepian, melambaikan tangan minta beberapa
percakapan. Teman-teman yang ramai, melonjak-lonjak dari
anak ke anak. Pohon-pohon dulu masih bibit, telah tumbuh
melampaui waktu-waktu. Kambing dan sapi terus bernyanyi
meski suaranya limbung. Sumur-sumur belum kering dari air
pertama kali mandi saat lahir. Mereka: menabung keringat dan
darah dalam gempita klakson dan rapat-rapat kendaraan.
Bagaimana denganku? Haruskah aku menonton saja di layar kaca
tentang jalanan yang tak pernah tidur, kecelakaan yang tak surut
dari ban ke ban, bemper ke bember, dan tangan kepada kepala
yang bertubrukan?
Oh, kawan. Kau sepertinya belum piknik, ya?
SKENARIO MENYUSUN ANTENA
1. Skenario Antena Kedai
Kopi yang belum disiram ke matamu akan berakar menjadi
pohon kopi di bawah kantung matamu. Teh yang belum
dikeringkan di tenggorokanmu, akan tumbuh menjadi batang
kaki di lenguhan pagi kian larut. Sirup di kedua lenganmu
meminta lebih agar mampu mencapai pipi di kedalaman gigimu.
Susu di punggungmu, menatap saya lembut tanpa tahu bahwa
saya yang akan mengajakmu menenun ingatan lewat kardus
genggam yang suka saya bawa di kala punggung saya terbakar
haus. Sari buah yang kautanam di pelintiran lidahmu, berlomba
memijat kerongkonganmu dari rasa pahit karena saya suka
bertamu meninggalkan pasir waktu.
Kenapa? Kamu takut dengan orang-orang baru yang tiada pernah
kamu temui sebelumnya? Tidak perlu, yang kamu butuhkan
hanya kepercayaanmu kepada saya secara bulat dan terang.
Terang saya akan menjelaskan kenapa kamu butuh ikut dengan
saya agar pikiranmu tidak buram oleh semilir polusi. Polusi di
di wajahmu kian kentara akan menghapus bayang tubuhmu
seluruhnya. Coba kamu pikir lagi, saya tiada akan merenung saja
di kabin tolilet, dua meter dari wastafel yang ingin menemui saya
dengan wajah kisut menendang. Saya tidak hanya menunggu
keran di teras lumut itu mengeras. Saya ingin agar kamu mengerti
maksud saya tanpa saya harus memaksa lebih lanjut yang
bermuara pada perkara tentang kenapa kamu masih terus
menanyakan saya yang jelas kamu tahu bahwa saya sebenarnya
juga ingin mengikuti saya dari balik kemeja biru itu. Saya tak
ingin bertengkar lagi dengan saya. Saya yang lain coba membuka
pintu, tapi awan itu enggan menutup sumur air mata.
2. Skenario Antena Pasar
Sesungguhnya saya tiada menanti hujan. Hujan datang memeluk
kamu dari belakang. Menggoda punggungmu melawan kail es
krim di pameran jas hujan berdiskon sembilan puluh persen. Es
krimnya meleleh, rumah ibadah banjir karena orang-orang
banyak meneduh dari hujan es krim itu. Es krim itu menemuimu
dalam keadaan telanjang. Kameja biru yang kamu pakai masih
menggantung di toilet. Saya menunggu di gerbang rumahmu.
Rumah itu warnanya masih hijau, ada pohon kelapa
menggantung di atap rumahmu. Kalau kamu mudah haus, maka
salon adalah tempat yang tepat untuk berlibur dari gurun basah
bibirmu. Saya ingin ke perpustakaan yang isinya sejarah celana
jin, riwayat mantel dan kaos oblong, hikayat vidoe game,
reportase bioskop tengah malam, hagiografi nasi goreng, fabel
foto rupa kita dalam kotak, ensiklopedi burger dan kebab,
legenda kendaraan mematung, dongeng batu-bata dan
penggorengan, mitos angkat beban, novel die cast dan action
figure, serta cerita pendek lift dan eskalator.
Rasa lapar adalah bumbu setiap hidangan. Tidak ada yang patut
diperdebatkan menyangkut selera. Kamu yang menyukai teh
tanpa gula atau aku, kopi tanpa cangkir. Aku bukan, aku adalah,
aku bukan, aku tidak peduli. Saya bukan pakaian yang memberi
arti pada seseorang, akan tetapi saya yang memberi arti pada
pakaiannya. Green tea. Teh warna rumput jangan lupa. Aku tidak
pernah lupa, yang lupa adalah aku, bukan saya.
Kamu mau ke Disneyland dulu apa ke pasar malam yang juga ada
wahana? Saya kasih pilihan. Kalau kamu mau ke Disneyland,
kamu jangan lupakan wahana di negeri ini. Jadi, kamu harus ke
pasar malam dekat rumahku dulu, baru kamu boleh ke Grand
Indonesia. Di pantai ada bayanganmu, tapi tidak ada pasir
berwajah kita. Airnya makin keruh karena kita lupa mencuci baju
bekas basah air tadi sore.
Atau kita coba ke pusat kebugaran. Ada barbel, sepeda, jungka-
jungkit, dan alat-alat pemoles badan agar kian jadi dan
menggemaskan. Sehat, loh. Kalau tidak sehat nanti kamu mati
keracunan polusi kendaraan dan makanan yang biasa kita makan
di kafe itu. Di kafe, orang-orang banyak membicarakan konsumsi
dan reproduksi. Saya bisa makan, kau bisa bangun restoran dari
obrolan kita tengah malam. Sambil bermain game di ponsel kita
masing-masing, kita bangun jejaring kita lewat hobi dan
keahlianmu itu ya, sayang.
Jangan lupa dompetmu dijemur, matahari sebentar lagi kabur.
3. Skenario Antena Layar
Kamu tahu? Ada yang diam-diam meminjam tubuhmu dari pagi
yang belum datang. Ia menikam hidungmu dari balik subuh dan
fajar. Lehermu beku karena kehabisan oksigen. Daun telingamu
mencoba berfotosinteis dari tubuh saya, tapi saya berlari sekuat
tenaga menjauh dari tiga puluh meter kini. Saya dan kamu tiada
bertemu, tapi aku berhasil meminjam tubuhmu. Kamu berlari
menujuku, tiada ingin lepas tubuhmu diambil saya. Dari tiga
puluh meter itu, kini berkurang hingga tiga meter di samping
saya. Tubuh saya diloncati oleh tubuhmu yang ada pada diri saya.
Kamu berhasil menagkap tubuh kamu dari tubuh saya yang ada
pada tubuhmu.
MANIFESTO PSEUDO
Dengar! Kita ini adalah pemilih sah fragmen gelisah! Halah!
Lagumu. Hidup dari antena ke antena. Dari senyap ke sengat.
Dari sinyal ke sial. Huailah.
5
PERTEMPURAN DI MEJA MAKAN
Kita adalah orang dalam lingkaran. Sendok, garpu dan piring
adalah senjata kita. Kita akan tanam lemak di sela kebisingan
meja makan. Kita akan mencari kawanan baru dari kedai ke
kedai. Kita sepertinya akan memusuhi kenyang dan perut
ngantuk.
4
SILUET KOTA
Kita adalah orang dalam kotak. Melancong. Mengambil gunung
dan pantai. Gunung dan goa itu kita ambil. Gedung-gedung
bertingkat banyak tumbuh dalam tubuh. Kita akan ambil gedung
itu sesuka kita. Tanpa tandas, tanpa cemas. Kita ambil semuanya
tanpa takut akan habis. Kita ambil semua dalam perjalanan
kameramu.
3
ANATOMI PUSAT PERBELANJAAN
Kita adalah plastik dan tas yang digotong saban awal bulan. Apa
isi plastik dan tasmu, adalah apa yang kamu. Mari kita tawaf di
sini. Sebelum satpam mengurung kita di toilet rumahmu.
2
DALAM PORTAL JARINGAN
Kita adalah kecemasan yang tak kunjung reda. Colokan adalah
dewa penyelematmu. Tolong, kenalkanku pada hutan, daun
dan gunung-gunung itu. Aku masih antena yang mencari sinyal
nyinyirmu. Seorang sinyal yang belum pada pertemuan.
1
ANTENA DI ATAS RANJANG
Kita adalah sepi yang tak ingin padam. Menyala-nyala pada
pucuk getar dan debar. Menidurkanmu dalam lelap gamang,
dalam khidmat sarang-sarang.
0
TIDUR DALAM AKUARIUM
Kita adalah peluk yang belum tuntas pada perjumpaan tangan.
Dalam kamar aku tenggelam di layar. Kita adalah tidur yang
belum ngantuk. Kita adalah meram yang mematuk-matuk.
SIMPTOM SEBELUM TIDUR
mengasah resah
kau boleh gelisah, asal muaranya indah. ah! pernyataanmu buat
resah. mana bisa gelisah jadi indah, paling-paling bisa ia hanya
jadi duka menengadah.
fabula dan simptom kamar
bagaimana kabar matamu? ia melihatku di sudut pintu. gelisah
sepertinya sudah jadi biografi hari-harimu. tentang esok menyapa
kita dari ketidakpastian, tentang hari ini mengikatmu dari
kealpaan.
Tentang Galeh Pramudianto
Galeh pramudianto lahir di Jakarta, 20 Juni 1993. Menempuh Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta. Menulis puisi, naskah drama, esai dan skenario. Puisinya tersebar di berbagai media daring dan antologi bersama. Skenario Menyusun Antena adalah kumpulan puisinya yang pertama.
Catatan Lain
Selain biodata penulis, juga muncul biodata ilustrator, Hanny Atalie Dethasya, lengkap dengan foto ybs, sebagai berikut: lahir di Jakarta, 18 Juni 1996. Menempuh pendidikan di Desain Komunikasi Visual, Universitas Paramadina. Gemar melukis dan bermain gitar. Begitu.
Di sampul belakang buku muncul petikan dari puisi Bulan Madu di Bulan, Skenario Menyusun Antena, dan Manifesto Pseudo. Halaman 217 – 220 muncul tutur ke tutur, semacam komentar pendek Saifur Rohman, I Putu Agus Phebi Rosadi, Budhi Setyawan, Narudin Pituin, Irsyad Ridho, Faisal Syahreza, Faisal Oddang, Adimas Immanuel, Peri Sandi Huizhche.
Kata Irsyad Ridho: “Galeh adalah bagian dari generasi baru yang menghidupi dunia imajinasi Afrizal – justru di dalam darah-daging kehidupan urban sehari-hari dari dunia paska-reformasi yang nyinyir dan paradoks. Di situlah puisi-puisinya lebih terasa klop antenanya.” Kata Faisal Oddang: “Jika tujuan membaca Skenario Menyusun Antena untuk mencari ‘kekuatan’ Galeh, saya pikir anda akan menemukannya di sajak-sajak pendek yang ada di dalam buku ini…. ia berhasil menciptakan banyak hal dengan sedikit kata, itu yang saya temukan.”
Galeh menulis pengantar yang rada puitis berjudul: Antena Itu Berpendar, Ada yang Tak Bisa Menghindar, hlm i-iii. Di bagian akhir, tertulis begini: Kerap saya bertemu dengan teman atau orang-orang yang sudah lama tak pernah bertemu lagi, mereka selalu setia mengutarkan ini, “Makin gemuk, ya, sekarang!” tubuh adalah citra dan komoditas. Tak ada orang yang bertemu langsung menanyakan, “Bagaimana kabar kontemplasimu? Akan dibawa ke mana nanti?” dan kita memang sepatutnya mengikuti arus itu, atau bisa juga mendobraknya dengan kopi di tangan kiri dan sirup di tangan kanan.//Breyten Breytenbach pernah mengatakan, “Di dalam diri setiap manusia ada sebuah puisi yang tersembunyi.” Persembunyian itu nampaknya telah tersingkap oleh kawanan antena-antena yang telah menyerbu ruang-ruang dan relung saya.//Bintaro, Juni 2015.