image |
Cahaya berwarna kuning kunyit masih melimpahi kamar ibu, ketika kami mendapati si bungsu duduk bersimpuh meluberkan tangis. Tangan si bungsu menggenggam gulungan rambut tipis yang sebagian besar telah memutih. Rambut ibu. Sementara di hadapannya dompet kain kesayangan ibu tergeletak di lantai menumpahkan isinya: sejumlah uang receh dan remah-remah potongan kuku. Kuku ibu. Genap empat puluh hari ibu pergi meninggalkan kami semua. Pada hari itu kami menggelar upacara selamatan dan kirim doa buat almarhumah. Kepergian ibu adalah luka terdalam yang sebelumnya tak pernah bisa kami bayangkan bagaimana cara menghadapinya. Empat puluh hari sudah kami menata hati, mencoba mengikhlaskan kepergian ibu. Namun, tangisan si bungsu petang itu bagai sebilah pisau yang menyudet luka kami. Tak sedikit pun memberi kesedihan kami tempat untuk bersembunyi.
***
Saat jenazah seseorang diletakkan di relung kubur, apalagi yang bisa kau dapat darinya selain sebuah kenangan yang kadangkala mekar menjadi sebuah melankolia? Barangkali seseorang meninggalkan wasiat atau benda-benda berharga untuk orang-orang yang dikasihinya, sebelum berhijrah ke alam baka. Itu adalah bentuk turut campurnya atas kehidupan yang ia tinggalkan. Namun tetap saja jasadnya tak boleh kembali. Tat kala ruh seseorang lepas dari tangkai kehidupan, maka segenap jasadnya harus dilenyapkan atau sekurangnya dijauhkan dari jasad orang-orang hidup. Dengan cara ditimbun tanah, dibakar, atau diawetkan. Haram bagi orang hidup menyimpan jasad orang mati. Meski seumpama itu hanya sehelai bulu dari si mati.
Namun ibu diam-diam meninggalkan tilas jasadnya untuk kami. Berupa rambut dan remah-remah potongan kuku. Ketika kami menatap helai-helai rambut dan remah-remah potongan kuku itu, kami tak memiliki kesempatan untuk menginsyafi diri, bahwa ibu kami tercinta telah benar-benar pergi. Menjadi milik bumi. Tidak kembali.
Semasa hidup, ibu memiliki kebiasaan menyimpan rambutnya sendiri yang rontok waktu dipangkas atau disisir. Juga remah-remah kuku usai dipotong. Kata ibu, “Rambut dan kuku ini adalah jasadku yang pergi mendahuluiku. Sebagaimana jasadku kelak berakhir, rambut-rambut dan potongan-potongan kuku ini akan kutanam di dalam tanah.”
Jadi, pada suatu waktu selepas helai-helai rambut yang rontok dan remah-remah kuku itu terkumpul dalam jumlah tertentu, ibu mulai menggali liang lahat kecil di pekarangan belakang untuk mengubur rambut dan kuku-kukunya yang telah pergi mendahului. Dengan sejumput doa, ia mengantar sebagian kecil jasadnya menuju alam abadi. Dan ia mengajarkan itu pada kami, untuk mengubur tilas jasad yang mendahului kami.
***
Selepas kepergian bapak, waktu-waktu yang lewat bagai lekas-lekas melipat tubuh ibu. Menjadikan tubuh tangguh itu menyusut dan keriput. Bagai buah ranum yang mengering dan kisut dalam lemari pendingin. Sementara kami, anak-anak ibu, terasa semakin membengkak, beranak pinak dan melesat pergi menjauhi tubuh kisut renta itu. Pada suatu masa yang telah lewat, ibu pernah berkias perihal bunga dandleon. Setangkai induk semang bunga, yang ketika tiba waktunya harus rela melepaskan biji-bijinya terbang menjauh untuk menumbuhkan bunga-bunga yang baru. Ibulah induk semang bunga itu, dan kamilah biji-biji yang pergi untuk melahirkan bunga-bunga baru. Di tanah yang juga baru. Ibu adalah induk semang yang mencokolkan tujuh biji bunga yang subur makmur. Kami, keenam anak ibu, telah lepas dan menemukan tanah baru untuk menyemaikan bunga-bunga baru. Bersisa si bungsu, bocah perempuan dua puluh lima tahun yang awet melekat pada induk semang dan urung menemukan tanahnya.
Beberapa tahun terakhir, ketika kami menjenguk ibu, terutama saat Lebaran—saat semua anak-anak ibu berkumpul, si bungsu banyak bercerita. Katanya, ibu masihlah utuh sebagaimana ibu kami yang dulu. Hanya mungkin jasadnya yang tampak mengecil terlipat waktu. Ibu masih saja membersihkan rumah di pagi hari, memberi makan ayam di kandang belakang, mengelap kompor yang usai dipakai, menyapu pekarangan, dan merebus air untuk minum sehari-hari. Rasa lodeh nangka buatannya pun tak bergeser sedikit pun dari puluhan tahun silam. Asinnya, gurihnya, pedasnya, menetap pada kesempurnaan yang sama. Memberi cubitan kecil pada lidah kami. Membuat kami kerap menahan haru karena rindu sentuhan tangannya yang ajaib.
Ibu juga masih melakukan ritual yang sama terkait rambut dan kuku-kukunya. Di kamarnya, di muka meja rias lawas pe ninggalan nenek buyut—dengan cermin yang mulai buram, ibu terduduk menatap bayangan diri. Bagai memunguti kecantikan di masa muda. Biasanya ia melakukannya selepas keramas dan mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia mengurai rambutnya yang kelewat tipis dan sebagian besar telah menguban itu. Menyisirnya perlahan ke depan hingga menjutai di pundak kanan. Setiap usai menyisir, ibu akan mengamati sisirnya dan memunguti rambut-rambut tuanya yang tersangkut di gigi sisir. Menggulungnya atau kadang memilinnya dengan jari sebelum membenamkannya ke dalam dompet kain kesayangan, dompet tempat biasa ia menyimpan uang. Di dompet itu pula remah-remah kuku ibu bersemayam dalam beberapa waktu sebelum ibu melahadkannya. “Rambut dan kuku-kuku ini adalah penjaga dompet Ibu. Membuat duit Ibu tetap aman. Tuyul-tuyul tak akan berani mendekati dompet ini, kecuali gundul mungil mereka bakal terlilit rambut-rambut Ibu,” kelakar ibu, dan sewaktu kecil kami menganggap itu masuk akal.
Atas segala kenangan, kelembutan, nasehat, tabiat, aroma masakan, dan segala yang berbau ibu, kami telah merawat luka yang begitu purba. Maka, ketika sosok yang amat familiar bagi kami itu pergi ke tempat yang tak menyediakan pintu untuk kembali, kekosongan serupa rindu tanpa muara itu bergelung dalam dada kami. Membelit kami dalam melankolia yang bisu. Terutama bagi si bungsu, yang paling dekat dengan ibu. Gulungan rambut ibu dan remah-remah potongan kuku dalam dompet kain yang digenggam si bungsu itu adalah relikui termahal bagi kami. Aroma shampo kesukaan ibu masih melekat samar-samar pada rambut itu. Si bungsu menghidunya begitu dalam, seakan tengah tunduk sungkem di kaki ibu. Dan pada remah-remah kuku yang tampak rapuh itu, kami melihat kembali setiap sentuhan tangan ibu yang begitu syahdu.
“Ibu telah pergi, sebaiknya rambut dan kuku-kuku yang tertinggal itu kita makamkan di pekarangan belakang sebagaimana ibu melakukannya. Agar ibu tenang di sana,” usul kakak sulung kami.
“Kalau beliau masih hidup, beliau pasti akan melakukannya sendiri,” sambut kakak kedua, menyetujui usul kakak pertama.
Tapi si bungsu bersikeras, ketika kami meminta dompet itu beserta isinya untuk kami kubur, si bungsu mengenggam dompet kain peninggalan ibu itu erat-erat. Mirip anak kecil yang tak sudi mainannya dipinjam. Katanya, biarlah rambut dan kuku-kuku itu menjadi relikui terakhir dari ibu yang akan disimpannya baik-baik sebagai kenangan.
Sepeninggalan ibu, rumah itu tentu akan semakin sepi. Tak mungkin si bungsu mendiaminya seorang diri. Tak mungkin pula kami meninggalkan keluarga dan anak-anak kami untuk boyongan ke rumah itu. Sebagaimana kukuhnya si bungsu mempertahankan relikui jasad ibu, sekukuh itu pula ia mempertahankan keputusannya untuk tinggal di rumah itu. Meski cuma seorang diri.
***
Sore itu, tiga hari selepas upacara kirim doa empat puluh hari meninggalnya ibu, aku melihat si bungsu menjelma jadi ibu. Seperti biasa, cahaya kuning kunyit menerobos ke kamar ibu lewat jendela yang kordennya terbuka. Cahaya kuningnya tampak lebih bening. Keriap anak ayam di kandang belakang terdengar lebih nyaring. Kakak-kakak kami sudah kembali ke kota dan ke keluarga masing-masing. Tinggal aku seorang yang sudi meluangkan waktu untuk menemani si bungsu, setidaknya sampai ia benar-benar bisa tersenyum. Legawa sepenuh jiwa. Di muka cermin lawas di kamar ibu, si bungsu duduk termangu menatap bayangan diri. Rambutnya yang basah seusai mandi sudah mulai mengering. Disirnya rambut itu perlahan dengan sisir hitam bergagang yang biasa dipakai ibu. Persis ibu, usai menyisir, ia mengamati sisir itu dan memunguti rambut-rabut yang tersangkut di sana. Wajahnya yang tirus menampakkan wajah ibu. Tindak-tanduknya yang kalem benar-benar serupa ibu. Dan di antara juntaian rambut yang sehitam sulang itu, aku menemukan kilatan berwarna perak, samar-samar. Masih sambil menggenggam sisir dan menatap bayangan diri, si bungsu berujar lirih, “Menurutmu, apa yang akan terjadi pada biji dandleon kalau tangkai induk semang bunganya patah sebelum biji-bijinya matang dan melepaskan diri?” Aku membisu. Tak sanggup menjawab pertanyaannya itu. Sementara si bungsu mulai memilin rontokan rambutnya dengan jemari. Menjadikannya gulungan mungil sebelum membenamkannya ke dalam dompet kain kesayangan ibu.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga memberi inspirasi. Baca juga cerpen Dua Perempuan di Satu Rumah