CERPEN PENYESALAN OLEH TEGUH AFFANDI

di neraka tidak ada lagi penyesalan yang diterima
image

Kalau dihitung sudah hampir delapan tahun aku sendirian. Istriku meninggal terkena kanker kandungan. Anak-anakku sudah beranjak sukses dan bermukim di perkotaan. Mereka sudah bukan lagi anak kecil yang harus diawasi. Mereka punya jalan hidup yang dipilih sendiri. Sudah berhasil kutuntaskan pendidikan mereka sampai sarjana. Luhde menjadi kontraktor di Surabaya, seminggu sekali dia dan keluarganya menelepon. Gedeh, anakku yang kedua, berhasil mengikuti jejakku sebagai dokter, dia mengambil pendidikan spesialis kulit dan kelamin di Belanda. Anakku yang satu ini sudah berkali-kali mengajakku ke Belanda, tetapi kaki tuaku gugup saat harus boarding ke sana. Dan, si bungsu, Junde, baru selesai sarjana perminyakan dan bersiap bekerja di Papua. Junde memang mencita-citakan bekerja di Papua.
Kuusap foto keluarga belasan tahun lalu, saat istriku masih hidup. Dalam foto mereka tersenyum.
“Pak, ke Surabaya saja sama Luhde.”
“Bapak kepingin masa tua di sini.”
“Kalau ada apa-apa, Bapak nggak ada yang merawat.”
“Semoga saja tidak. Kalau ada apa-apa biar langsung kutelepon kalian.”
Percakapan itu membuat Luhde pulang sendirian tanpa aku. Aku sebenarnya ingin sekali bersama mereka, di Surabaya, di Belanda, atau ikut Junde di Papua. Kesepian menyayat luka dalam perasaan. Setiap kenangan yang tersimpan di rumah ini menetesi cuka pada pedih luka masa tua. Masa tua adalah masa yang ingin dimanja, masa ingin diperhatikan anak-cucu, masa menikmati secangkir kopi di teras rumah. Beternak dan bercocok sayuran di kebun belakang. Lebih dari itu, aku ingin mati di sini, tanah kelahiranku. Waktu seharian kuhabiskan dengan membaca dan menulis memoar-memoar dalam rumah ini. Aku hanya ditemani Lina, kemenakan jauh, yang mendapat tugas membantuku dalam urusan rumah: memasak, menyapu, dan mencuci baju. Selain itu, kupergunakan waktu untuk berzikir kepada Allah. Siapa tahu Izrail sedang mengintai kapan aku lengah dari mengingat Allah. Aku berusaha untuk tidak masbuk dalam shalat. Kusempatkan shalat dua rakaat sebelum berdiam di masjid, kemudian melihat muazin menaikkan nada saat azan. Dalam diam aku lebih suka memutar-mutar tasbih dan berdiri ketika sudah sampai iqamah. Aku selalu duduk di baris paling depan. Sengaja kupasang kursi plastik warna hitam di pojokan. Aku shalat sambil duduk, kakiku sudah bergoyang-goyang tak sanggup lagi berdiri.
Apalagi yang dicari oleh orang setua aku, selain kedamaian pada pengujung usia? Aku mengharap dalam setiap doa agar dimatikan dalam keadaan yang paling baik. Kebaikanku memang tidak seberapa, tetapi benar kuingin adalah kematian yang dijanjikan Allah surga, yang mengalir sungai seputih susu, semanis madu, seharum kasturi, dan sekali teguk tak ada dahaga dan lapar selamanya. Mengingat itu, aku teringat syair Abu Nawas, aku tidak pantas di surga, tetapi apa mampu aku hidup selamanya di neraka? Aku menitikkan tangisan, yang kuharap itu tangisan yang memadamkan api neraka.
“Pak Nazar, panjenengan sudah sepuh. Tapi, masih shalat lima waktu di masjid. Takzim saya sama panjenengan,” kata Kamil, muazin muda yang sudah lama mengumandangkan azan di masjid.
“Ibadah harus tuntas. Sudah tua, memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk menyiapkan bekal akhirat.” Kalimatku terbata, napasku Senin-Kamis.
“Pak Nazar kok tidak ikut anak-anaknya saja? Biar tenang?”
“Lebih tenang di sini. Dekat dengan masjid. Lebih giat ibadah. Kalau di sana cuma merepotkan.” Meski dalam hati, sebenarnya aku menangis. Aku sebisa mungkin mengingkarinya dan berusaha tetap tegar di hadapan Kamil. Aku tak ingin dia tahu bahwa aku rapuh.
“Mari Pak, sebentar lagi iqamah.”
Aku dituntun perlahan menuju kursi. Sudah ada belasan orang yang ingin shalat Ashar. Kamil mundur dan imam masjid bergerak ke depan, meluruskan barisan, dan takbiratul ihram.
***
Sambil menyiapkan makan, Lina selalu bercerita bagaimana teman, tetangga, dan rekan kerja seusiaku meninggal. Entah apa maksud Lina bercerita demikian, tetapi itu cukup menjadi pengingat bahwa usiaku adalah usia yang menunggu giliran kematian. Dalam cerita, Lina berkisah tentang Hamudi, temanku semasa SD yang berprofesi sebagai anggota dewan, meninggal kecelakaan di Sidoarjo ketika kunjungan kerja. Lina juga bercerita, teman pembantunya yang kerja di Malaysia pulang menjadi mayat, yang lebih menghebohkan kabarnya beberapa organ dalamnya menghilang. Ada yang meninggal karena tersedak makanan saat rapat jajaran direksi. Ada juga yang meregang nyawa ketika sedang “jajan” di panti pijat. Ada yang meninggal karena sakit dan menyedihkan banyak orang. Yang membuatku miris mengelus dada adalah orang yang meninggal karena penyakit. Mula-mula terbujur kaku karena stroke, kemudian semua urusan harus dibantu orang sekitar, tidak bisa bicara, tidak bisa mendengar, dan akhirnya tidak bisa bernapas lagi. Kucermati, aku tidak ingin dimatikan dengan cara demikian. Lalu, bagaimana kematian yang diam-diam kuinginkan? Kematian yang tenang. Aku tidak mau merepotkan. Aku tidak ingin mati di atas ranjang kesakitan dan tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak mau mati yang menjadi pergunjingan. Beberapa kali kudengar bisik-bisik tetangga yang berkira-kira bahwa ini adalah usaha untuk menutupi segala dosa. Benar? Aku sadar hal itu. Sebagai seorang dokter kandungan, aku memang berulang kali dengan sengaja menerima honor lebih untuk menggugurkan kandungan. Menutupi borok sebuah perzinaan. Tetapi, aku bertaubat. Aku sudah insaf dari perbuatan, yang sekarang kusadari, sangat keji itu.
Aku tidak ingin dosaku kubawa sampai mati. Keengganan ikut bersama anak-anakku bermotif agar aku bisa lepas dari merepotkan mereka. Aku tidak mau menyisakan kekesalan bagi perawat, pembantu, atau menantu. Aku ingin mati yang bebas.
“Lina, makananku simpan saja dulu. Nanti kumakan setelah selesai Maghrib. Aku puasa. Sekarang aku mau ke masjid.”
“Masih terang ke masjid?”
“Di rumah nggak ada pekerjaan, mending zikir di masjid.”
“Oooo.”
Lina menjawab singkat dan bergerak cekatan memasukkan nasi liwet, sayur asam, dan beberapa lauk ke dalam tudung saji. Kutinggalkan Lina di rumah, kucangking sajadah dan tongkat yang biasa membantuku berjalan.
Masih terang. Aku shalat dua rakaat dan menanti Kamil menyerukan azan. Tetapi, yang ditunggu tak kunjung datang. Masjid lain sudah mulai iqamah, tetapi di sini belum azan. Aku mulai gelisah. Aku sempat mengumpat, di mana Kamil? Anak muda itu lupa pekerjaannya adalah memanggil jamaah untuk shalat di masjid. Kalau sampai azan tidak berkumandang, betapa banyak orang yang akan kehilangan pahala dua puluh tujuh rakaat. Kutengok kanan-kiri, benar tidak ada jamaah lain yang bisa kumintai azan.
“Mungkin giliran yang tua untuk azan.”
Akhirnya kudekati toa dan mulai kulafazkan azan.
Suaraku parau bergetar karena tua. Sudah tidak jelas lagi kalimat azan yang terucap. Sayup mungkin yang terdengar hanya kalimat takbir dan cengkok asal-asalan yang kumainkan. Seumur hidup, ini adalah azanku pertama yang dipublikasikan. Baru sampai kalimat syahadat, aku kehabisan napas dan suaraku tidak keluar. Keseimbanganku hilang. Aku roboh sebelum azan usai dikumandangkan. Kepalaku menghantam lantai yang dikuliti dengan karpet hijau.
Aku merasa seperti ada benda mahaberat menghantam badan. Mendadak gelap. Gelap sekali. Ada sesuatu yang lain. Ya, aku merasa tercerabut dari jasadku pelan-pelan, kemudian semuanya terasa ringan. Aku seperti melayang-layang di udara. Kulihat, orang-orang mulai ramai mengerubungi sebujur jasad, jasadku sendiri. Aku sekarang telah mati. Izrail telah datang menjemputku. Rohku dibawanya berputar-putar. Aku mati saat sedang mengumandangkan azan. Betapa mulianya? Semoga ini kematian husnul khatimah.
Sampailah aku di tempat yang banyak orang impikan. Surga! Tempat yang sejuk dan mendamaikan. Aku melihat istriku dan wanita-wanita cantik muda dan segar. Mereka melambaikan tangan. Aku dipertontonkan rumah-rumah yang megah dari keramik dan permata yang indah. Berwarna-warni. Ada pohon yang terbalik. Ada sungai yang sangat jernih. Ada lautan susu. Ada fasilitas yang kadang belum sempat diminta.
Tanpa kuduga perjalananku tak berhenti di sana. Aku masih terus dibawa. Aku diberhentikan di jurang yang begitu dalam dengan api berkobar menyala-nyala. Berkali-kali kudengar lolongan dan rintihan orang yang disiksa. Sungguh! Aku sangat takut. Meski beberapa suara tidak asing kudengar, tetapi aku tidak mau bersama mereka di sana.
“Mengapa aku di sini? Aku tidak mau di sini?”
“Tempatmu di sini!” Izrail menjawab datar.
“Tidak bergunakah darmaku sebagai dokter? Tidak cukupkah pahalaku selama hidup?”
Aku meronta ingin lari. Tapi, lari ke mana? Aku tak kuasa. Aku lemah. Aku menengadah. Kuakui aku salah.
“Aku memang salah. Aku memang mengaborsi ratusan bayi, tetapi bukankah aku sudah bertaubat. Aku shalat lima waktu tepat di masjid. Aku puasa sunah. Aku shalat malam. Aku berderma. Aku tidak menyusahkan banyak orang. Aku tidak pelit. Bahkan, aku mati saat sedang berazan. Melantunkan panggilan Tuhan. Apa itu masih kurang untuk menebus kesalahanku?” Aku menangis. Aku benar-benar ketakutan. Api itu bisa langsung melelehkan tulang dan mendidihkan isi kepala.
Aku memohon kepada malaikat agar aku segera dipindahkan ke tempat yang pertama.
Aku berharap untuk segera bangun. Aku berharap ini hanya mati suri seperti adegan sinetron. Aku ingin segera kembali ke kehidupan nyata. Banyak orang yang harus aku mintai maaf. Banyak uang yang harus aku kembalikan dari aku menilap berbagai proyek di rumah sakit. Duh Gusti, aku ingin kembali ke dunia. Duh Gusti, aku ingin benar-benar taubat. Duh Gusti, kenapa belum juga terbangun. Tubuhku mulai meleleh dan bergabung dengan semua kawan-kawanku semasa di rumah sakit.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Kunci Hati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Sosial Media Terbaik
Platform Pengiriman Pesan Instan
Platform Sosial Media

Follow Me
Profil Fafa Media di Instagram
Profil Fafa Media di Instagram

Artikel Terbaru