Cerpen Dalam Kotak Sederhana

Pagi ini seperti pagi yang lain. Orang-orang kudengar sayup -sayup memulai harinya. Di jalan aspal kecil dekat tempat ini ibu-ibu tua mengendong bawaan mereka dengan selendang di punggung. Bungkuk tubuh mereka, kumal selendang mereka dan tak berharga bawaan mereka, mungkin hanya kacang panjang, mungkin buah melinjo kering, atau mungkin hanya untaian daun pisang yang nantinya akan di bawa ke pasar.


Aku telah bangun dari tadi, ketika ibu-ibu tua dan siang memulai harinya, akupun memulai hariku, bukan hari yang cerah buatku. Kupandangi atap di atas, kotor, dan digelayuti sarang laba-laba.

Pikiranku tidak kemana-mana,mataku menatap kosong, tetapi hatiku telah terbang, melanglang tinggi dan turun di sebuah memori. Aku resah.

Ku hela nafas, kebangunkan tubuh ini untuk Sholat Subuh. Namun dadaku masih terasa berat meskipun setelah menghadap Allah. Kembali kubaringkan tubuh ini. Atap itu masih tetap sama. Akankah ini selesai sampai di sini. Pikirku. Akankah sejarah ini akan berakhir hanya sekian. Ataukah aku bisa berbuat sesuatu agar cerita ini terus berjalan dan masih tetap aku bisa menikmatinya.

Kuambil hp murahku, ku sms seseorang, kutulis: “Jam berapa nanti mulainya?”
Di jawab: ” jam lapan….”. Aku mendadak membayangkan sesuatu. Dadaku menjadi sesak. Aku ingin menangis. Aku masih ingin tetap di sini, masih ingin menikmati masa-masa indah, masih ingin bersenda bergurau dan masih ingin bebas. Ya Allah, ya Tuhanku, aku sampai di sini apakah ini rencanamu ataukah doaku dulu yang telah Engkau kabulkan. Aku menginginkan yang berbeda untuk saat ini.

Akankah dia merasakan sesuatu yang penting saat ini juga, seperti diriku, sesuatu yang ada kaitannya dengan diriku. Ya Allah, aku rindu dia, aku ingin ia mengerti yang kurasakan saat ini, aku ingin ia menemaniku sampai kapanpun.

Kuambil lembaran surat yang tergeletak di samping tempat tidur.
Kubaca lagi. Tak ada yang salah dalam isi surat itu. Aku memang harus memenuhi keinginan orangtuaku itu. Bahkan itu adalah hak mereka, dan kewajibanku. Karena aku adalah anak mereka dan merekalah yang membiayaiku hidupku.

Jam di dinding menunjukan pukul 06.00. Malas sekali rasanya untuk bersiap-siap. Aku tak mau. Aku masih mencintainya. Aku masih mau bertemu, bercakap- cakap dan merasakan riang cerianya suara itu, ketawanya dan loncatan-loncatan kecilnya ketika ia melihatku. Pikiranku melayang-layang, memori masa lalu satu persatu hadir dan seakan tiada habisnnya.

begitu banyak hal untuk diingat, dan telah mengendap dalam rasa. Ketika aku melihat penjual siomay, aku teringat waktu bersamanya, ketika mencium bau tanah yang naik di pagi hari, aku teringat padanya, ketika aku mengenakan pakaian yang satu itu aku selalu tersenyum karena senang mengingatnya, ketika aku melihat kerudung merah jambu aku selalu teringat padanya, dan setiap aku melihat pintu itu, aku selalu teringat juga padanya, pintu yang tak pernah ia mau memasukinya, karena takut akan ada syetan yang akan mempengaruhi kita. Aku selalu melalui pintu itu setiap hari, berkali-kali. Aku mencintainya. Aku rindu.

Jam kusam di dinding telah menunjuk pukul 07.30. Seakan gumpalan karung pasir, ku angkat susah payah tubuh ini menuju kamar mandi. Dinginnya air tak terasa, bahkan aku merasa tiba-tiba telah berada di kamar lagi. baju wisuda telah tergantung di dinding, kuambil fotonya dari dalam bukuku dan kupandangi.

” Kenapa kau tidak bisa lulus bersamaku, kenapa sampai sekarang masih banyak mata kuliah yang harus kau ulang, kenapa kau tidak bersungguh-sungguh……sedang aku setelah ini harus pulang ke Sumatera memenuhi permintaan orang tua!” Kataku dengan pelan. kudekap foto itu dan kumasukkan ke dalam dompet. Aku sangat mencintainya.


Karangan :Sifaul Wafa

Semoga dari cerita ini kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Sosial Media Terbaik
Platform Pengiriman Pesan Instan
Platform Sosial Media

Follow Me
Profil Fafa Media di Instagram
Profil Fafa Media di Instagram

Artikel Terbaru