Cerita Asal Mula Nama Irian

Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah ke­luarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut ber­­nama Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, sau­­­­dara-saudaranya selalu meminta Ma­­­na­­namakrdi tidur di luar rumah. Jika Mana­na­­­­makrdi me­lawan, tak segan-segan sau­­­­dara-saudara­­­­­nya akan menendangnya ke­l­u­ar hingga ia merasa kesakitan.

Suatu hari, saudara-saudaranya su­­dah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka, Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah da­rat­an yang tak lain adalah Pulau Miokbudi di Biak Timur.
Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk mencukupi kebutuhan makan­­nya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu ter­dapat beberapa pohon kelapa yang da­­­­­pat disadapnya. Setiap sore, ia me­­­­­man­jat kelapa, kemudian memotong manggarnya. Di bawah potongan itu di­letakkan ruas bam­bu yang diikat. Hari be­­rikut­nya, ia tinggal mengambil air nira itu kemudian di­buat tuak. Suatu siang, ia amat terkejut, nira di dalam tabungnya telah habis tak ber­­­sisa. Mananamakrdi sangat kesal. Ma­lam itu ia duduk di pelepah daun kela­pa un­­tuk menangkap pencurinya. Hingga la­­­rut malam pencuri itu belum datang. Men­­­je­lang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar sangat terang men­dekati pohon kelapa tempat Ma­na­na­makrdi bersembunyi. Makhluk itu ke­mudian me­minum seluruh nira. Saat ia hen­­dak lari, Ma­nanamakrdi berhasil me­nangkap­nya. Makhluk itu meronta-ronta.
“Siapa kamu?” tanya Mananamakrdi.
“Aku Sampan, si bintang pagi yang men­jelang siang. Tolong lepaskan aku, ma­tahari hampir menyingsing,” katanya me­­­­­­mohon.
“Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik,” pinta Mana­na­makrdi.
“Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu,” kata Sampan. Mananamakrdi kemudian me­lepaskan Sampan.
Sejak itu setiap sore Mananamakrdi du­duk di bawah pohon bitanggur mem­­per­hatikan gadis-gadis yang mandi. Suatu so­re, dilihatnya seorang gadis cantik man­di seorang diri. Gadis itu tak lain adalah Insoraki, putri kepala suku dari Kampung Meok­bundi. Segera dipanjatnya pohon bi­tang­gur. Kulitnya terasa sakit bergesekan de­ngan pohon bitanggur yang kasar itu. Di­ambilnya satu buah bitanggur, dan di­lemparnya ke laut.
Bitanggur itu terbawa riak air dan me­ngenai tubuh Insoraki hingga ia merasa terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu ber­langsung berulang-ulang hingga Inso­raki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.

Beberapa hari kemudian, Insoraki ha­mil. Kejadian aneh di pantai ia cerita­kan kepada orangtuanya. Tentu saja orang­tua­nya tak percaya. Beberapa bu­­lan kemu­­di­­an, Insoraki melahirkan se­­orang bayi laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak me­nangis, namun ter­tawa-tawa. Bebe­rapa waktu ke­mu­di­an, diadakan pesta pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori. Manana­makrdi hadir dalam pesta itu. Saat pesta tari­an berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki Mananamakrdi. “Ayaaah …,” teriak­nya. Orang-orang ter­kejut. Pesta tarian kemudian terhenti.

Akhirnya, Isoraki dan Mananamakrdi di­nikahkan. Namun, kepala suku dan pen­duduk kampung merasa jijik dengan Ma­nanamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan membawa semua ter­nak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki, dan Konori yang tinggal. Suatu hari, Mana­na­makrdi mengumpulkan kayu kering, ke­­mu­­dian membakarnya. Insoraki dan Ko­­no­ri heran. Be­lum hilang rasa heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke da­lam api. Spontan, Insoraki dan Konori men­­­jerit. Na­mun ajaib, tak lama kemudian Ma­­na­na­makrdi keluar dari api itu dengan tu­buh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sa­­ngat tampan. Anak dan istrinya pun gem­bira. Mananamakrdi kemudian me­nye­but dirinya Masren Koreri yang berarti pria yang suci.Beberapa lama kemudian, Mana­na­makrdi mengheningkan cipta, ma­ka ter­­ben­tuklah sebuah perahu layar. Ia kemu­­­di­an mengajak istri dan anaknya ber­­­layar sampai di Mandori, dekat Manokwari.
Pagi-pagi buta, anaknya bermain pa­­­­sir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-bukit yang amat luas. Semakin lama, ka­­­but tersibak oleh sinar pagi. Tampak pe­­­gu­nung­an yang amat cantik. Tak lama ke­­mu­dian matahari bersinar terang, udara men­jadi panas, dan kabut pun lenyap.
“Ayah … Irian. Iriaaan,” teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti panas.
“Hai, Anakku, jangan memekik be­gitu. Ini tanah nenek moyangmu,” kata Ma­nanamakrdi.
“Iya, Ayah. Maksud Konori, panas ma­tahari telah menghapus kabut pagi, pe­­man­dangan di sini indah sekali,” kata Konori.
Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau, dan  burung cendrawasih yang anggun dan mo­lek membuat Irian begitu indah.

Penulis: Daryatun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Sosial Media Terbaik
Platform Pengiriman Pesan Instan
Platform Sosial Media

Follow Me
Profil Fafa Media di Instagram
Profil Fafa Media di Instagram