Data buku kumpulan puisi:
judul: Percakapan Diam-diam
penulis: Lelaki Budiman
penerbit: Tan Kinira Books
cetakan: 2, April 2012
tebal: 91 halaman (47 puisi)
ilustrasi: Widyatmoko ‘Koskow’
desain buku: Gamaliel W. Budiharga
Beberapa pilihan puisi Lelaki Budiman dalam Percakapan Diam-diam
Adalah Kau
2011
Ketika Sepi
Adalah sepasang kursi
tanpa kata-kata,
percakapan menguap
bersama udara,
: sebuah panggung
tanpa cahaya.
Ketika sepi adalah aku berlari,
menagkap bayanganku
: sendiri.
2011
Kau Sebut Kita sedang Bercakap
Kau sebut kita sedang bercakap,
sementara kata-kata
terus kau sembunyikan
dalam gelap.
Isyaratmu lindap,
tak tertangkap.
2011
Halaman Kosong
Kita begitu sibuk mencari halaman-halaman kosong, untuk
sekedar menuliskan tentang apapun. Tentang ingatan, mungkin
juga kenangan, yang sering mencegat kita di tengah jalan.
Tiba-tiba.
Atau mungkin hal-hal yang ingin kita lupakan, namun diam-diam
terus kita simpan di bawah bantal, setiap malam. Berharap
mimpi menghentikan kenyataan, yang seringkali teramat
menyakitkan. (Pun membuat kita berharap berhenti bermimpi)
Kita terus sibuk mencari halaman-halaman kosong – untuk
menulis apapun yang ingin kita tuliskan. Lupa bahwa sesekali kita
harus membaca kekosongan.
2011
Sublim
Aku iri kepada air
yang tak bisa ditusuk dan dilukai.
Aku terpana kepada udara
yang bisa menelusup ke mana saja.
2009
Kata-kata
Kata-kata menggurit luka agar kita tak bernyanyi lupa.
Kata-kata menulis duka untuk terus kita baca sebagai durma.
2011
Malam Tahun Baru
Malam ini kita nyalakan matahari.
Sebab esok tak ada lagi ucapan selamat pagi.
2010-2011
Telepon-Mu
Malamku pecah oleh sebuah dering.
Telepon-Mu.
Suara-Mu terdengar begitu asing, atau mungkin,
suaraku tak lagi mengenal kata-kata-Mu.
Entah, dengan bahasa apa
harus kujawab.
2011
Pada Sebuah Titik
Waktu tiba-tiba seperti adegan film yang menampilkan gerak
lambat. Setiap gerakan terlihat lebih nyata. Gerak tangan, gerak
kaki, tak lagi mampu mengelabui mata.
Di saat yang sama, ingatan bergerak begitu cepat. Menjelajah
lorong-lorong yang tak lagi kita ingat. Ingatan menjadi
tubuhmu, pikiran adalah perjalananmu.
Dan kau pun berhenti di satu titik, perhentian yang tak
direncanakan sebelumnya. Namun, mau tak mau, harus
berhenti.
Menatap sekeliling, semuanya nampak begitu asing. Menatap
diri yang tak lagi kau kenali.
Lalu, diam.
“Apa yang sesungguhnya telah aku lakukan?”
2011
Surat Pendek untuk Calon Isriku
Selamat malam
kekasih rahasia Tuhan.
Bidadari tak bersayap
denganmu agama
menggenap.
Kelak, suatu waktu
kita berbagi sajadah rindu.
Menebus rindu kepada
Sang Maha Rindu.
Engkau,
makmum pertamaku
dalam jamaah Qalbu.
2010
Me-
nu-
ju-
mu
Kata-kata berjalan pelan, mengiringiku.
Menujumu. Mengusung puisi-puisi rindu.
Dan, apapun yang mendekatkanku pada jarakmu.
Apapun yang bisa menjadikanku sebagai detikmu.
Hingga kau tak lagi asing menatapku, tubuh yang dibaringkan hening.
Tak lagi asing, mendekapku dalam tubuh yang paling bening.
2011
Tiga Hari Menjelang Pertemuan
Sering kubayangkan dirimu
Adalah angin, yang kerap bermain-main
Di antara lelap dan sadarku
Sering kubayangkan dirimu
Adalah air, yang berkali-kali mengalir
Di antara dosa dan doaku
Kelak, aku tak lagi bisa membayangkanmu
Ketika engkau telah menjelma
Menjadi bayanganku
Ketika aku telah menubuh
Dalam seluruh hidupmu
Ketika cinta adalah kita
2012
Sajak Kecil tentang Rindu
Mungkin tak semua hal membutuhkan alasan, seperti kerinduan.
Datang begitu saja, tiba-tiba. Tanpa alasan, namun menyenangkan.
Kita tak pernah tahu alasan apa yang membuat kita saling merindukan?
Jarak?
Sebelumnya kita tak pernah dipersatukan jarak.
Atau mungkin kita merindukan sebuah pertemuan? Kita belum pernah
bertemu sebelumnya. Rindu itu menelusup tiba-tiba.
Kita tak saling memikirkan, namun saling merindukan.
Sebab kerinduan teramat jujur hingga tak mampu membuat alasan.
Alasan kerinduan adalah rindu itu sendiri.
2012
Membaca Puisi Bersamamu
Dan, seperti biasa Menjelmalah kita
sebelum baris terakhir terbaca. menjadi Adam Hawa.…….
2011
Dua Cerita Bersama Hujan
(1)
Malam ini hujan kembali mengunjungiku, kunjungan yang kesekian puluh.
Tak pasti hujan mengunjungiku (benar-benar berkunjung dan bercakap
denganku). Terkadang ia hanya lewat di depan halaman, lalu pergi usai
menyapa bunga dan rerumputan.
Sesekali hujan menggodaku, mengetuk jendela kamarku, tersenyum, dan
berlalu. Lain waktu, hujan singgah cukup lama (setelah cukup lama pula ia
menunggu di depan pintu). Kami lantas bercerita apa saja, tentang cuaca
ataupun cerita perjalanan dari satu kota ke kota lainnya.
Aku tak pernah bosan mendengar ceritanya. Seperti ia yang tak pernah bosan
mendengar ceritaku. Tentangmu.
Seperti malam ini, kami asik berbincang hingga jam dua pagi. Kau tahu, aku
tadi menceritakan tentang bintang dan kupu-kupu biru. Sebelum pergi, aku
menitipkan pesan untukmu (kau akan tahu pesanku saat ia mengunjungimu).
Apakah hujan mengunjungimu malam ini?
(2)
Hujan bertandang kembali, tepat tiga hari setelah kunjungan
terakhirnya. Tiga hari sejak aku menitipkan pesan untukmu.
Entah, malam ini hujan begitu pendiam. Tak seperti biasanya. Sesekali
begumam, lebih banyak diam, mendinginkan secangkir teh hitam yang
kuseduhkan.
Aku, entah mengapa, kali ini tak berani menanyakan apa-apa. Tak pula
ada niat sekedar menanyakan apakah pesanku sudah diterima olehmu.
Malam ini kami hanya saling menatap diri.
Entah, apa yang hendak diceritakan hujan malam ini
: sunyi.
2011
Mungkin, Malam Ini
Apa yang akan dituliskan kata malam ini?
Mungkin, malam ini, kata-kata tengah menyusun
nama dan tanggal kematianku.
Sebagai sebuah berita yang kau dengar pertama kali.
Esok pagi.
2011
Tentang Lelaki Budiman
Lelaki Budiman lahir 27 Maret, dibesarkan di sebuah dusun kecil di Bantul dan di sebuah kampung di pesisir utara Pulau Jawa. Menetap di Yogyakarta dan menjadi pekerja lepas, sesekali menjadi volunteer acara seni budaya. Penikmat senja, jazz dan kopi ini (terus) belajar menulis dan memotret sembari menjadi reporter dadakan untuk beberapa media. Penggalan percakapannya dapat dikuti via twitter: @lelakibudiman.
Catatan Lain
Awal saya mengetahui puisi Lelaki Budiman adalah ketika saya mencari contoh puisi konkret di google image. Di hasil pencarian tersebut, saya dapati penggalan halaman buku “Percakapan Diam-diam” ini.
Dan beberapa waktu kemudian, beruntung sekali, saya menemukan ebook-nya di issuu. Ada 2 link e-book tersebut di issuu. Link yang saya dapat yaitu https://issuu.com/lelakibudiman/docs/percakapan_diam_cetak_bw dan https://issuu.com/lelakibudiman/docs/preview_percakapan_diam-diam. Di link pertama yang saya sebut tidak terdapat cover buku, namun isinya lebih utuh. Sedangkan di link kedua terdapat halaman covernya, namun isinya lebih sedikit.
Membaca puisi-puisi di buku ini mengasyikkan, karena selain diksinya yang sederhana dan romantis, buku ini juga dihiasi banyak ilustrasi yang membuat puisi menjadi lebih hidup.
Buku ini diberi testimoni oleh beberapa penulis,yaitu Acep Zamzam Noor, Joko Pinurbo, Danarto, dan Gunawan Maryanto. Ujar Joko Pinurbo: “Di tengah lalu lintas informasi dan komunikasi yang kian tinggi intensitasnya, sajak-sajak Lelaki Budiman ibarat hujan malam yang mengajak kita untuk diam mendengarkan suara hujan, sebagaimana kita juga sesekali perlu diam mendengarkan burung berkicau di dahan-dahan. Menulis adalah sebentuk percakapan dalam diam untuk menjernihkan ingatan di tengah sampah komunikasi yang bertimbun.”
Kontributor: Ahmad Fauzi