image Nike Morgan |
Sepasang orangtua yang rambutnya telah memutih memandang dari ruang tamu ke jalan raya yang ramai oleh orang orang berbaju indah-indah dan baru. Berjalan kaki, berbendi atau bermobil sebagaimana tradisi setiap lebaran Idul Fitri. Keduanya memandang sambil bergoyang pelan di kursi goyang yang dipisahkan oleh meja kecil bardaun marmar Itali.
Rumah kedua orang tua itu bangunan kayu model lama yang berkolong tinggi. Bercat oker yang telah pudar warnanya. Kelihatan ganjil di antara sederetan bangunan bergaya terkini. Mungkin karena sudah terlalu biasa dalam pandangan penduduk kota kecil itu, tak terasa lagi ada keganjilan pada rumah itu. Setiap orang tahu siapa penghuninya. Yaitu Inyik Datuk Bijo Rajo dan Encik Jurai Ameh. Lazimnya orang menyebutnya Inyik dan Encik saja. Inyik dulunya seorang pejuang dan pernah menjadi gubernur. Menurut istilah lama yang kini terpakai lagi, mereka “dikaruniai” enam orang anak. Semua telah jadi orang terpandang di rantau. Pada hari tua yang sudah lama terpakai mereka tinggal dengan sepasang pembantu yang telah puluhan tahun bersamanya. Pembantu yang laki-laki ialah paman Si Dali. Encik berkulit gelap dan bertubuh gemuk. Hampir tidak dapat bergerak seleluasa maunya. Dan Inyik berkulit cerah, tapi tubuhnya ceking. Keduanya sama mengenakan baju yang terindah, meski modelnya sudah kuno. Sambil bergoyang di kursinya sejak tadi Encik bicara sendiri tak henti- hentinya. Mengatakan apa yang lewat di kepalanya. Sedangkan Inyik berbuat yang sama. Dalam hatinya pula.
Kata Encik: “Pada setiap lebaran begini aku mau semua anak-cucuku berkumpul. Aku rindu mereka antri, bertekuk lutut sambil mencium tanganku waktu bersalaman. Seperti anak-cucu presiden di televisi. Terharu aku melihatnya. Berdiri seluruh bulu romaku. Namun mataku sabak oleh airmata bila ingat aku tidak pernah memperoleh kebahagiaan seperti itu. Padahal, sebetulnya anak-anakku mampu pulang bersama. Yang tak mampu hanya Ruski. Rezkinya memang pas-pasan. Lebih sulit lagi dia tinggal jauh. Di Irian sana. Kalau mau, saudara-saudaranya bisa patungan membiayai yang tidak mampu. Tapi itu tidak pernah terjadi. Rasanya aku tidak salah didik. Aku datangkan guru agama tiga kali seminggu agar mereka menjadi penganut yang tawakal. Tapi mengapa setelah makmur mereka hidup nafsi-nafsian? Setiap lebaran datang luka hatiku kian dalam.
Dulu, waktu ayahnya jadi gubernur setiap lebaran mereka bisa berkumpul. Kata mereka, akan apa kata orang nanti bila mereka tidak datang waktu lebaran. Setelah itu mereka tidak lagi datang dengan lengkap. Mengapa? Sama seperti anak-buah Inyik dan pejabat lain. Kalau mereka tidak lagi datang, itu adat dunia masa kini. Dimana padi masak disana pipit berbondong-bondong. Tapi kalau bagi anak-menantuku tentu tidak berlaku ungkapan itu.” Inyik pun berkata dalam hatinya: “Dulu aku pernah baca artikel, kalau tidak salah Ki Hajar yang menulis. Katanya, Idul Fitri hari yang istimewa. Karena pada hari itu setiap orang tanpa pandang usia dan status saling bertemu dan saling memaafkan. Tak ada rasa rendah diri. Tidak ada rasa lebih diri. Tapi kini, setelah Idul Fitri jadi kebudayaan baru, bawahan dan orang miskin yang wajib datang ke penguasa untuk minta maaf. Penguasa akan merasa tidak pantas minta maaf kepada rakyat. Meski kementerengan hidup yang mereka dapat, karena banyak rakyat yang diterlantarkan. Tak tersentuh hati mereka. Paling-paling mereka memberi zakat fitrah senilai satu hari makan untuk satu orang miskin. Kenapa tidak untuk sepuluh atau seratus orang miskin. Atau untuk makan sepuluh atau seratus hari orang miskin?”
Kata Encik melanjutkan lamunannya: “Ruski memang keras hati. Pantang meminta-minta. Saudara-saudaranya mau membantu kalau Ruski mau meminta. Kenapa harus menunggu dulu kalau sudah tahu saudara sendiri tidak punya kemampuan? Siapa yang mengajar mereka begitu? Seperti mereka tidak tahu betapa rindunya aku. Si Mael yang paling kaya dari semuanya. Lain perilaku hidupnya. Setiap akhir tahun dia pergi berlibur membawa anak dan isterinya. Ke Amerika atau ke Eropa atau ke Jepang. Tutup tahun ini berkebetulan sama dengan lebaran. Tapi dia tidak pulang. Dia ke Mekkah karena sudah bosan ke kota-kota dunia lainnya. Begitu janjinya kepada anak-anak. “Sambil libur, sambil mencari ridha-Nya.” tulisnya dalam surat. Sepertinya menemui ibu-bapa tidak merupakan ridha-Nya. Aneh fahamnya beragama.”
“Tulisan siapa yang pernah aku baca dulu? Hasan, Roem, Natsir atau siapa, ya? Katanya, Nabi tidak menyuruh orang berpesta untuk merayakan Idulfitri. Melainkan berzakat dan takbiran. Tapi kebudayaan baru menjadikannya lain. Acara takbir dijadikan acara tontonan di lapangan. Pakai musik segala. Takbir bukan lagi ibadah pribadi, melanikan dijadikan pesta dunia dengan biaya milyaran rupiah. Sepertinya uang sebanyak itu tidak lagi berfaedah untuk orang miskin. Sebetulnya Idul Adha tak kurang mulianya. Bahkan lebih. Kewajiban inti pada kedua hari raya itu membantu orang miskin. Pada Idul Fitri memberi zakat firah. Sedangkan pada Idul Adha memberi Qurban senilai seekor kambing.”
Inyik terbatuk-batuk. Setelah minum sereguk air, renungannya melanjut: “Waktu jadi gubernur dulu, aku mencoba merobah tradisi lama itu. Mengikis keduniawian pada acara ritual itu. Aku minta ulama mengeluarkan fatwanya. Sebagai kepala pemerintahan aku dipojokkan. Kolegaku menyalahkan aku dengan kata-kata durjana: “Biarkan saja agama begitu, asal stabiltas terjamin.”
“Sabir juga tidak pulang. Katanya, dia harus berlebaran ke rumah menterinya yang baru. Menteri bisa salah sangka kalau dia tidak datang. Aku maklum alasannya. Untuk keamanan jabatannya. Dulu ketika ayahnya jadi gubernur, aku pun dendam jika ada bawahannya tidak datang berlebaran ke gubernuran. Terlambat datang pun jadi pertanyaan dalam hatiku.” kata Encik melanjutkan kata hatinya. Dan dia terus merunut satu demi satu alasan anaknya tidak bisa pulang berlebaran. Melani karena tidak mendapat tiket pesawat. Sofi karena suaminya belum bisa kembali dari Eropa.
Baca: Cerpen Menunggu Imam
Sedangkan Gafar lain lagi alasannya. Pikiran Inyik masih terus menerawang. Katanya: “Lima tahun jadi gubernur, sesungguhnya tidak cukup waktu untuk merobah tradisi yang usang. Akan tetapi menjadi gubernur lebih lama, akulah yang akan menjadi usang. Kiayi Marzuk mengatakan kepadaku: “Kalau mau jadi pemimpin, teladani Nabi. Nabi diberi waktu dua puluh tiga tahun oleh Tuhan. Ketika berhenti karena umurnya sampai, beliau tetap seperti Muhammad sebelum menjadi Nabi. Tidak kaya raya seperti umumnya diktatur yang berkuasa. Kalaupun punya warisan, semuanya dihibahkan menjadi wakaf untuk umatnya. Itu yang pertama. Kedua, sebagai pemimpin umat umurnya dibatasi Tuhan sampai enampuluh tiga tahun saja. Jika lebih dari itu, kondisi mental dan fisiknya sudah menurun dan terus menurun. Bagaimana nasib umat dibawah pimpinan yang pikun? Dan bagaimana umatnya meneladani perilaku Nabi apabila diakhir hidupnya kepikunan lebih menonjol. Apakah tidak akan terjadi kekacauan pada kehidupan umatnya?”
Tiba-tiba Inyik merasa dadanya sesak. Dia mengalaikan kepala ke sandaran kursi. Beberapa saat kemudian dia berdiri. Kursi yang ditinggalkannya terus bergoyang. “Aku lelah, Jurai, Aku mau berbaring dulu.” katanya kepada isterinya sambil melangkah dengan gontai.
“Aku juga.” kata Encik hampir tak berdaya. “Rasanya hari lebaran ini terlalu panjang. Coba kalau anak-anak kita disini semua, waktu dirasakan terlalu singkat.”
Lama kemudian masih dalam goyangan kursi, pikirannya terus menerawang: “Alangkah anehnya hidup ini. Rasanya aku sudah mendidik anak-anak, supaya menjadi anak yang bersatu kukuh dalam persaudaraan serumpun. Tapi kenapa pada hari tua kita, mereka telah hidup menurut pikiran dan caranya masing-masing. Selagi aku masih hidup mereka tidak lagi berpikiran sama seperti sebelum mereka menjadi apa-apa? Apalagi kalau aku sudah mati. Mungkin mereka akan bercerai-berai.”
Goyangan kursi Encik kian lama kian pelan. Lama-lama berhenti sendiri. Menjelang berhenti, dalam penglihatannya beberapa mobil sedan yang mengkilat catnya karena baru, memasuki halaman. Setiap pintu terbuka. Dari setiap pintu keluar semua orang yang dikenalnya. Anak, menantu dan cucunya. Satu demi satu secara khidmat mereka berlutut ketika menyalami, menciumi tangannya dan kemudian memeluk untuk mendekapi pipinya. Persis seperti yang dilakukan anak-cucu presiden dalam tayangan televisi. Kalau masih ada airmatanya tersisa, mungkin akan turun deras melelehi pipinya oleh rasa bahagia. “Tuhan telah mengabulkan doaku. Semua anak-anakku pulang berlebaran. Oh, alangkah indahnya Hari Raya sekali ini. Terima kasih, Tuhan, terima kasih. Terima kasih juga seandainya ini hanya mimpi. Mimpi terakhirku.”
Dalam berbaring di bangku tidur yang biasa digunakan pada waktu tidur siang, pikiran Inyik masih terpaut pada waktu ketika di kursi goyang ruang tamu. “Sebenarnya aku ingin jadi gubernur lebih lama. Terutama sekali karena aku tidak melihat ada bawahanku yang mampu menggantikan aku. Meski mereka berpendidikan tinggi, namun nyalinya kecil-kecil. Aku cemas pada nasib negeriku ini bila dipimpin orang-orang seperti itu.”
Tidak diduganya seseorang masuk ke kamar tidurnya. Lalu duduk di kalang-hulunya. Inyik tidak bereaksi, selain heran oleh kedatangan tamu yang tidak dikenal itu. Tamu yang berani-berani saja sudah duduk di bangku tidurnya. Dan bicara tanpa basa-basi. “Sebetulnya aku tidak akan ke sini. Tapi aku mendengar yang kau katakan.” Hati Inyik merasa tertusuk oleh kata kau ke alamatnya. Kata yang tidak pernah ada dalam hidupnya diucapkan orang kepadanya. “Ternyata kau sama saja dengan golonganmu. Tambah tua kian sombong. Sebaiknya kau tahu, bahwa waktu Nabi sampai umurnya, baru separoh jazirah Arab yang Islam. Tetapi dalam masa seratus tahun, para khalifah telah meluaskan wilayah Islam sampai ke Spanyol di barat, sampai ke Pakistan di timur. Maka itu janganlah kau punya pikiran yang berlawanan dengan kodrat alam.”
“Kodrat alam?”
“Ya. Karena alam dan kodrat-Nya. Sunnatullah.”
Lama Inyik terdiam. Tak mampu dia memahami apa yang dimaksud tamunya. Kini disadarinya benar, bahwa memang usia tua membuatnya lamban berpikir, lamban bereaksi. Bahkan pelupa. Tapi berapa sesungguhnya usianya sekarang? “Ah, baru tujuhpuluh usiaku sudah begitu lambannya aku.” katanya pada dirinya. Lalu kepada tamunya: “Apa maksudmu?”
“Dalam peribahasamu ada ungkapan: “Patah tumbuh, hilang berganti. Masa kau lupa.” kata tamu itu
“Pengganti belum tentu sebaik yang digantikan.” Inyik menggugat.
“Tergantung pada perilaku kepemimpinanmu. Kalau kau berkuasa seperti diktator, akan terjadi kekacauan pada ujung kekuasaanmu. Pemimpin pengganti akan didambakan dengan sorak gembira oleh rakyat. Apabila kepemimpinanmu berganti pada kondisi yang baik, kau akan selalu dikenang dengan segala kekaguman oleh rakyat.” kata tamu itu.
Inyik merasa tamu itu menguliahinya. Harga dirinya tersinggung. Maunya dia marah. Tapi ada rasa tak berdaya pada dirinya. Dialihkannya pembicaraan.
“Engkau ke sini berlebaran, bukan?”
“Ada sedikit urusan dengan isterimu.”
“Bagaimana dia?”
“Kursinya tidak bergoyang lagi.”
Inyik lama termangu sambil membolak-balik makna ucapan tamu itu. Tiba-tiba dia sadar bahwa tamu itu tidak lain dari Sang Maut. Dia mencoba meraba-raba perasaannya sendiri. Tidak ada perasaan apapun. Karena rasionya yang lebih kuat. Bahwa manusia itu lahir, hidup dan akhirnya mati.
“Pantarai.” desis dalam mulutnya ketika ingat pelajaran sejarah Yunani Kuno pada klas terakhir sekolah menegahnya dulu. “Sudah tiba waktuku kalau begitu.”
“Belum. Belum sekarang.” kata tamu itu.
“Kalau waktuku belum akan tiba, aku mau kehadiranku tidak akan menyiksa hidup bangsaku.” kata Inyik pula dalam keragu-raguan.
“Tidak. Tidak akan. Karena kau tidak berkuasa lagi.” kata tamu yang disangka Inyik sebagai Sang Maut seraya keluar dari kamar. Inyik yang berbaring lemas sendirian di bangku tidurnya masih mendengar samar-samar gema takbiran dari pesawat televisi di ruang tengah.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga cerpen Senja di Kairo