image clipground |
Larut malam. Ia terus berjalan, membiarkan dirinya hanyut dalam arus pikiran. Kota begitu lengang. Sesekali, ada kendaraan lewat dengan mesin menggema, lalu lenyap dengan cahaya melesat. Pohon asam yang berjejer sepanjang jalan tampak bagai raksasa mengenakan mantel kebesarannya. Sebatang beringin tua menyerupai seorang pertapa, penuh sesaji dan bunga-bunga. Angin malam berkesiur, tak urung merenggut juga daun-daunnya yang rimbun, sehelai-dua jatuh melayang, gugur ke bumi jalang, diseret-seret angin di atas aspal dan trotoar jalan yang keras. Kadang akar-akar surai beringin itu menjuntai bagai rambut dan jenggot Batara Kala —seperti dalam pawai ogoh-ogoh pada malam pangrepukan, sehari menjelang Nyepi— kini berayunan hingga ke pokok pohon. Sekali waktu, datang angin kencang, menumpahkan canangsari berisi sesaji, dan ia merasa sari hidupnya terserak jatuh ke tanah.
Tanah rantau! Ah, surat dari ibu masih melekat di pikirannya, menyeretnya ke jalanan, mengepakkan debu rindu, tapi tak memberinya sayap untuk pulang! Memang, tadi selepas petang ia pulang, tapi ke kamar kontrakannya yang berdinding gedhek di pinggiran kota. Langkahnya terantuk kaleng-kaleng rombeng yang tergeletak di lorong sempit di antara kamar-kamar. Preng! Preng! Sialan, bunyinya cukup gaduh, dan lebih dari itu matanya sudah tak awas ternyata. Mestinya ia tahu, sepanjang hari anak-anak para pengontrak yang jumlahnya membeludak, menghabiskan waktu bermain apa saja di lorong itu —satu-satunya ruang yang bersisa dan mereka perebutkan dengan orang tua yang bergunjing, mondar-mandir, dan marah. Selalu, berhari-hari ia pergi dan kembali untuk tinggal tak berapa lama. Malam itu, ia kembali setelah pergi cukup lama, bahkan paling lama, sehingga membuatnya lupa pada kaleng-kaleng rombeng di lorong remang itu.
Ia merogoh saku celana, mengeluarkan kunci dan menjangkau daun pintu dengan malas. Pintu triplek itu menguapkan debu. Seekor laba-laba seperti kaget dan buru-buru menyingkir dari situ. Belum sempurna ia buka pintu, ketika berkerenyit engsel lain di sebelah. Kepala seorang perempuan muda dengan rambut basah sebahu terjulur dari sana, boleh jadi karena suara kaleng yang gaduh, dan lalu tahu kalau laki-laki aneh di sebelah kamarnya sudah datang. Perempuan itu bergegas memintasnya.
“Ada surat, Mas, ini! Sudah lama. Sengaja saya simpan, takut diambil anak-anak,” perempuan itu memberikan amplop dengan sorot mata cemburu, mungkin iri mengapa surat itu tak jatuh padanya. Pada masa ketika surat masih ditulis, dan tukang pos masih yang tersibuk di dunia, sebuah amplop berterakan nama dan alamat bakal membuat orang yang dituju tersipu-sipu. Dan pada malam ketika surat masih dituliskan ini, laki-laki itu mendapatkan bagiannya.
Ia ucapkan terima kasih kepada perempuan yang baik hati dan segar sehabis mandi itu. Bau sampho lidah buaya masih tertinggal di muka pintu, ketika ia masuk dan menyalakan lampu. Tanpa sempat membersihkan debu, langsung ia rebahkan badannya di kasur kapuk yang kurus, sekurus kujur tubuhnya. Lama, didekapnya surat itu, bersabar untuk tak segera membuka. Ia nikmati denyut dan debar dalam dada, nikmat-ngilu campur-aduk jadi satu. Lain sekali rasanya. Dan kian berpacu, membuatnya tak tahan. Ia sobek amplop lusuh itu.
Ini surat pertama yang menjenguknya selang empat tahun perantauannya. Surat dari ibu! Surat bagi perantau pemula! Ada sejumlah perkara di kampung, baik menyangkut dirinya langsung, maupun yang hanya berhubungan dengan segala sentimental yang tak perlu: rindu bertemu. Ah, betapa jauh jarak, betapa luas ruang dan betapa tak sederhananya waktu, sebab rantau, kau tahu, bukan sekadar kepergian yang selesai dengan sebuah kepulangan. Pulang? Alangkah tak mudah, tak sesederhana yang dibayangkan. Begitu seseorang memutuskan pergi, ia masuk ke wilayah tak bertepi dan sungguh tak mudah untuk kembali.
Ah! Ha-hh! Ia meronta dari kekangan waktu, dari belitan kalimat rindu. Ia tak mau terpuruk dan terbujuk kata pulang. Ia bangkit, berontak. Ia simpan surat itu di bawah bantal, dan segera ia matikan lampu. Bergegas ia keluar, menghempas dan mengunci pintu, lalu mengayun tinju di keremangan lorong itu. Ketika melewati kaleng-kaleng rombeng tadi, ia sengaja menyepaknya. Preng, preng, prenggg!! Ia tak peduli. Dan ia terus berjalan, sampai kini terus berjalan, membiarkan dirinya hanyut dalam arus kusut pikiran.
Sebuah dokar lewat, sarat muatan sayur-mayur; pak-kudipakkaki kuda memecah malam raya. Kusir dan seorang perempuan terangguk-angguk di atasnya. Bukan karena kantuk! Sebab kusir dan perempuan itu adalah mereka yang berjaga. Perempuan itu, membuatnya tergeragap oleh rindu. Rambutnya yang tertutup tengkuluk mengingatkannya pada rambut nenek atau ibu. Tapi tidak. Ini perempuan pedagang di Pasar Kumbasari, berjualan larut malam sampai dini hari. Dan langkahnya terseret ke pasar itu, mengikuti arah dokar yang sayup menghilang dalam kabut. Melewati jembatan tukad Badung, ia serasa menyeberangi masa lalu dan masa kini. Mampukah jembatan ini menyeberangkan diriku dari masa lalu yang kelu, ke masa depan yang belum tentu? Ia berbisik, seperti mendapatkan sebaris puisi. Ah, persetan puisi! Ia mengumpati diri sendiri.
Alir tukad Badung berkilau diterpa cahaya lampu merkuri, mengingatkannya pada sungai besar di kampungnya yang berkilau bila terang bulan. Perahu-perahu laju, dan bagan, kapal kayu penangkap ikan, bersauh di muara yang lebar. Melihat sampah-sampah yang terapung tak tahu arah di arus tukad Badung, ia teringat perahu-perahu dari sabut kelapa yang ia hanyutkan dari tepian, entah terdampar di mana.
Lalu riuh pasar membuatnya tersintak dari lamunan. Pasar Kumbasari memang membuatnya terjaga dari kantuk dan pikiran. Pasar induk ini memulai aktivitasnya tengah malam menjelang dinihari, di batas antara malam yang matang dan pagi yang akan menjelang. Di situlah para pedagang —sebagian besar perempuan—tegak berjaga. Menjaga dagangan di hadapan; keranjang penuh buah, bunga-bunga, sayur-mayur, daging babi dan ikan-ikan. Selintas keranjang bambu itu bagai canang raksasa saja layaknya, dipersembahkan perempuan-perempuan pasar yang penuh bakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Biasanya, jika ke Kumbasari, ia akan bertemu kawan-kawan lain yang sama-sama berahi mabuk puisi. Lalu mereka akan nongkrong di sebuah kedai soto babat —soto “terenak di dunia” begitu mereka bilang —yang terletak di pojok pasar, di tepi tukad Badung. Pada hari tertentu, akan ada seorang “lelaki kuda” hadir di tengah-tengah mereka. Lelaki kuda itu, begitu ia disebut, dan sebagian lain menyebut “si batu dungu”, ikut bergabung sehabis deadline rubrik “Apresiasi” di sebuah surat kabar lokal yang ia asuh. Kehadirannya selalu hangat dan membakar hasrat siapa pun untuk tak main-main dengan pilihan hidup.
Beberapa minggu lalu, ia masih bertemu si laki-laki kuda, dan berkumpul bersama kawan-kawannya yang selalu terceguk pada kata-kata dan puisi itu.
“Masih membantu sablon di Alit Esha?” laki-laki kuda hangat menyapa.
“Sudah tidak, Bung. Order sepi. Alit sekarang beralih ke ayam potong.”
“O, ayam potong? Cepat juga orang itu beralih usaha ya.”
“Iya, Bung, ada celah di Benoa untuk memasok daging ayam bagi kapal yang akan berlayar. Tapi ini baru mulai.”
“O, bagus itu. Jadi, tugasmu sekarang tinggal antar ya?”
“Saya yang memotong ayam-ayam itu, Bung, tiap kali ada permintaan. Sebab ABK kebanyakan muslim, maka pilihan jatuh kepada saya. Halal katanya, hahaha….”
Semua yang hadir tertawa. Penyair Jengki berkata, “Daging soto ini tetap enak, meski yang motong sapinya kita ndak tahu, hahaha….”
“Iya, enak,” jawabnya pula, lalu sedikit mengeluh, “Berat sekali jadi tukang jagal.”
“Justru!” laki-laki kuda berseru, “Kau akan dapat kata-kata liar, akan….”
“… dapat sajak-sajak ayam potong!” potong Wirah.
Kembali tawa bergema. Kali ini ia diam. Ia agak kesal kepada Wirah yang sok tahu. Ia sendiri merasa tidak mudah beralih usaha dari sablon ke ayam potong. Bukan perkara ruang sablon jadi tempat penampungan ayam, tapi kejadian dinihari yang membuatnya merinding. Setiap dinihari, ia akan bangun dengan kilatan pisau di tangan. Bagaimana mungkin ia memotong ayam berpuluh ekor, sedang memotong seekor saja alangkah sulit? Pernah, suatu ketika, perempuan tetangga kamarnya itu memintanya memotong ayam. Ia berusaha mati-matian, meski jadi tertawaan perempuan itu. Namun itu pula membuatnya nekat menggorokkan pisau, membuang rasa tega. Alhasil, hari itu, ia dan perempuan tetangganya yang baik hati itu pesta daging si Burik, dan sedikit ciuman yang mereka lakukan dengan tersipu-sipu. Berkat pengalaman itu, ia berani menerima tawaran Alit untuk mengubah usaha sablon jadi tempat pemotongan ayam. Sejak itulah, ia bersentuhan dengan darah, cacah pisau di leher yang pasrah dan keok sekelok yang memecah pagi buta!
Dan malam ini tak ada siapa pun. Sepi. Tak ada teman berbagi. Bahkan Wirah yang selalu serbatahu juga tak nongol. Padahal lumayan untuk merintang hati yang gundah, o, gaduh! Tapi ia tak ingin pula. Ia ingin sendiri, berjalan tanpa rencana, tanpa siapa-siapa. Ia berbalik. Jika mau, ia bisa mampir di kedai pojok jembatan, memesan segelas kopi kental, atau menikmati nasi jinggo di pelataran toko Jalan Gajah Mada. Tapi tidak. Ia ingin berjalan saja, memperturutkan sejauh mana arus pikiran menyeret dirinya. Ia berjalan ke timur, menyeret terompah lusuhnya. Ia berpapasan dengan perempuan-perempuan cantik yang baru pulang melantai dari diskotek di atas Pasar Kumbasari. Dua dunia, batinnya. Di bawah, para perempuan berjaga dengan keranjang sayur-mayur, sementara di lantai atas perempuan-perempuan ini pun berjaga dalam irama musik yang menghentak. Di atas Jembatan Tukad Badung, ia ingin berteriak, entah meneriakkan apa, dan kerongkongannya tercekat. Akhirnya ia menemukan sebuah baut berkarat tergeletak di atas kerikil. Ia pungut baut berkarat itu, ia tokok-tokokkan ke tiang besi jembatan yang juga berkarat. Teng! Teng! Suaranya melengking, tapi tenggelam dalam hiruk-pikuk pasar. Lagi pula, siapa peduli? O, terbuat dari apakah sebuah kota? Dari besi, aspal dan baja. Di manakah halaman sebuah kota? Di taman-taman dan alun-alun yang terbuka. Dan perlahan ia melangkah ke sana, ke arah lapangan Puputan Badung. Ia melewati toko-toko yang merapat ke sisi jalan, melewati perempatan, melintasi bank besar milik pemerintah yang berdiri berhadap muka dengan bank swasta. Lalu kantor wali kota, ah, apa saja kerja mereka? Ia bergumam, hingga terhantar di air mancur, di bawah kaki patung pahlawan. Ia ciduk air yang berlumut dengan telapak tangan, berkumur, lalu menghamburkan kuat-kuat seperti tersadar itu air lumutan. Bersamaan dengan itu teriakkannya pecah! “Ppuuaaah!” Bergema, menghalau burung-burung malam yang bersarang di dinding kantor wali kota.
Baca: cerpen Cat in The Rain
Akhirnya, ia tiba di lapangan. Rumput-rumput berkilat mandi cahaya. Embun sudah turun. Daun-daun di pohonan memantulkan sinar lampu-lampu kota. Walau sudah tiba di bangku taman, dia tetap saja berjalan memutari bangku-bangku itu. Terompahnya basah, tapi ia tak hendak duduk. Ia berjalan memutari dua setengah kali lapangan itu, tanpa tahu mengapa, sampai ia kemudian merasa lelah. Ia teringat sebuah sanggar seni di Jalan Wahidin, jalan terpendek di kota itu. Ia ingin ke sana, sebagaimana biasa ia menghabiskan malamnya di ruangan yang penuh debu, melekat di koran dan buku-buku. Banyak nyamuk, sehingga kalau ia memasang krem anti nyamuk di kulitnya, ia merasa dirinya seolah Ibrahim di tengah api, dan nyamuk-nyamuk itulah api yang berdenging! Ia memutuskan ke sana. Tiba di Jalan Sulawesi, tempat berderet toko emas dan toko kain milik pedagang keturunan Arab, ia tiba-tiba berubah pikiran. Ia ingat kamarnya. Sebuah kamar, sungguh berarti saat kita terlantar di jalan. Ia ingin kembali. Mengempaskan diri di kamar sendiri. Ya, ia putuskan lurus ke Jalan Kartini, batal ke Wahidin. Ia pilih masuk gang, mencari jalan pintas. Sebagai orang yang berjalan kaki ke mana-mana, ia tahu seluk-beluk berpuluh gang.
Grrr! Guk, guk, guk!
Baru saja masuk berapa depa ke Gang India, seekor anjing ke luar dari pekarangan, menyerbunya. Laki-laki itu terhuyung, tergeragap mundur. Tapi anjing hitam itu terus menyosornya dengan galak. Nyaris ia terjerembab ke selokan, jika saja anjing itu tak berhenti mendadak. Ia pungut sebutir batu dan ia lemparkan. Kraang! Batu itu nyasar ke dinding pagar. Ia menahan napas. Kecut. Ngeri jika pemilik rumah bangun lalu meneriakinya maling. Tidak! Tiba-tiba ia merasa sangat kasih pada dirinya. Betapa ia ingin setiap organ tubuhnya terlindungi dengan baik. Ia lihat tangannya yang kurus dalam remang cahaya malam. Tak akan dibiarkannya teraniaya. Juga kakinya. Tubuhnya. Bahkan kuku-kukunya. Tapi, siapakah yang akan melindungi itu semua? Bahkan sesama organ tubuhnya pun terasa tak cukup mampu. Semuanya begitu ringkih, kurus dan menderita. Tapi tidak. Ada sesuatu yang bangkit dari kedalaman dadanya, begitu kuat dan perkasa: semangat yang membuatnya bertahan hidup, bertahan di tanah rantau, dan menolak kata pulang. Semua itu kini menggumpal dalam dadanya, seakan dada tipis itu bakal pecah.
Ia bangkit, berontak dari kelumpuhannya. Sepasukan anjing liar kini dalam waktu singkat telah mengepungnya —entah berdatangan dari mana. Ia lihat anjing-anjing itu bagai sepasukan nasib buruk yang harus dilawan dan dimusnahkan. Tangannya bergerak meraih batu lebih banyak. Kau tahu, batu, benda Tuhan yang keras itu, adalah peluru sejati bagi manusia yang ingin mempertahankan hidupnya di bumi! Ya, ya, sebuah batu melayang, tak lagi salah sasaran. Buk! Seekor anjing kena timpuk, barangkali patah tulang, terkaing-kaing tak keruan. Tapi yang lain merangsek maju. Sebuah batu lagi melayang. Lagi dan lagi. Dan entah pada batu ke berapa, sesorot cahaya senter meneror wajahnya!
“Diam di tempat!” sesuara melerai ketegangan, tapi mengundang ketegangan baru. Derap langkah mendekat. Aneh, anjing-anjing mundur teratur, melesat kembali masuk gang. Sepi sebentar. Sepi yang meneror. Ia yang baru saja memperoleh separo kekuatan dirinya, kini kembali tergetar oleh kekuatan di luar dirinya yang jauh lebih besar. Seseorang menyambar lengannya, mencengkram seperti hendak mematahkan, “Ke sini kamu!”
Beberapa yang lain mendekat. “Bawa ke tempat terang, Ndan!” Tubuhnya digeser ke bawah tiang lampu jalan. Ia menekur, menghindari cahaya yang terasa setajam mata komandan —lebih tajam daripada sorot mata si anjing hitam.
“Mau ke mana malam-malam begini?”
“Saya mau pulang, Pak. Tadi dari Kumbasari.”
“Jualan apa? Di mana tinggal?”
“Nyari nasi jinggo, Pak. Saya tinggal di Jalan Bedahulu.”
“Tak ada nasi jinggo di situ?”
“Sudah habis. Tapi sebenarnya saya sekalian dari sanggar.”
“Sanggar senam?”
“Bukan. Sanggar seni, di Jalan Wahidin.”
“Mana KTP-nya?”
Ia gelagapan, merogoh dompet. Ia sodorkan kartu sanggar berlambang mata terbuka. “Saya sudah lama di sini, Pak.”
“Hmmm, sudah lama?”
Seseorang menyahut, “Itu goblok namanya. Sudah lama, kok tak punya KTP! Kartu lain tak berlaku, tahu? Dari mana kamu? Nak Jawa?”
“Sumatera.”
“Sumatera mana? Dekat Aceh?” orang itu masih nyelutuk dengan kedangkalan pengetahuannya.
Ia tak lagi menjawab, sebab orang yang tadi menyenter wajahnya dan menarik lengannya sudah terlanjur berbisik, “Punya berapa di dompetmu?” Kembali ia keluarkan dompet, menghitung uang kertas ditambah recehan. Masih saja ia dengar celutukan meniru iklan mobil irit, “Ke Bali, tak sampai empat puluh empat ribu!”
Ia memberontak. Ia masukkan kembali dompetnya, dan ia serakkan lagi uang receh ke dalam kantong celananya. Lalu ia tatap wajah orang yang menginterogasinya. “Saya tak punya uang, terserah Bapak sekarang….” “Ndaskleng!!” beberapa orang menggerutu serentak. Untunglah sang komandan cukup tenang, dan aneh, ia melunak.
“Ya, sudahlah, pulang saja ke kostmu! Besok urus KTP. Itu tidak sulit. Saya pernah di Jawa, dan dulu ikut orang tua transmigrasi di Lampung,” begitu saja komandan itu membalikkan badan. Anak buahnya tampak enggan. Tak lama, mobil pick-up di ujung gang menyala, membawa petugas Tramtib itu menjauh. Ia tiba-tiba merasa sepi. Tak ada lagi yang dilawan buat membangkitkan pemberontakan dalam diri. Atau, haruskah ia merobek-robek surat ibu di balik bantal? Entah. Ia ke luar gang. Menyusuri kembali malam. Dirinya perlahan jinak bagai seekor rusa dikandangkan di kebun binatang sebuah kota. Entah kenapa.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga mengispirasi. Baca juga cerpen Pantura