“Kok, jam segini Bu Maya belum datang, yah?” lirih Dimas yang duduk di bangku sebelah kananku. Aku mengernyitkan dahi. Benar, dalam hati aku juga bertanya kenapa wali kelas kami sekaligus guru Matematika itu belum juga mengajar. Apa dia sakit? Wajah teman-teman tampak jengah menunggu. Kembali aku melihat goresan tinta di atas kertas putih. Tangan ini tak berhenti-hentinya melukis sebuah pemandangan aneh yang kerap aku temui dalam mimpi malamku. Membuat sketsa seorang remaja seusiaku terikat pada tiang besar di atas dolmen. Hanya mengenakan kain putih penutup kemaluannya.
de ja vu
“Pagi anak-anak…” sontak aku terkesiap mendengar suara Bu Maya tatkala ia memasuki ruang kelas, namun mataku masih mengamati lukisan itu. “Pagi, Buuu….” teman-teman menyahut, di susul suara ribut-ribut khususnya kaum adam yang entah mengapa terlihat begitu semangat saat Bu Maya menampakkan diri, tidak seperti biasanya. Aku mengalihkan perhatian ke arah bu Maya sejenak.
Damn! Sontak hatiku berdesir hebat ketika mataku melihat seorang gadis anggun dan tinggi semampai berseragam SMA berdiri di depan kelas tepat di sisi bu Maya. Gadis itu berkerudung sebahu. Anak baru? Cantik juga dia. Tapi…
“Kelas kita, kedatangan murid baru pindahan dari SMA Negeri 3 Jambi. Ainara, silahkan memperkenalkan diri…” kelakar bu Maya lalu berbisik pada gadis itu. Mata kami tak lepas mengamati gadis yang bagiku agak sedikit berbeda dari gadis lainnya. Sambil memperhatikan dia berceloteh, aku mendapati banyak teman-teman lelaki yang mengobrol atau lebih tepatnya membicarakan Ainara yang menarik simpatikku itu. Termasuk Dimas dan Randi.
“Ainara? Sudah punya pacar atau belum?” tanya Randi pada anak baru itu. Entah sengaja atau tidak, sejenak Ainara menatap wajahku. Dia tersenyum manis. Manis sekali. Aku salah tingkah karena tatapannya itu.
“Hmm, aku belum punya pacar. Tapi….” Ainara masih menatapku.
“Tapi apa?” sambung Riska penasaran.
“Tapi aku sudah, tunangan!”
“Apaaaaa?!” sontak kami semua terkejut. Gila! Kelas 3 SMA sudah jadi tunangan? Huhhh. Beberapa teman ku lihat menggelengkan kepalanya. Termasuk aku. Lagi-lagi Ainara menatapku, tersenyum. Bu Maya mempersilahkan Ainara duduk di sebelah Riska. Sebelumnya, aku seperti pernah mengalami kejadian pagi ini. Ada anak baru berjilbab dan cantik masuk di kelasku, lalu memperkenalkan diri dan duduk di sebelah Riska. Yah, aku memang seperti sudah mengalami kejadian pagi ini di lain waktu. Ainara? Dia sesekali masih menatapku.
***
Malam ini, kami ada pelajaran tambahan di sekolah. Ainara, anak baru itu cepat sekali berbaur, dalam hitungan jam saja, baik laki-laki maupun perempuan sudah akrab dengannya. Termasuk Dimas dan Riska. Mereka mengobrol di bangku paling ujung, bercanda ria dan tertawa. Selang beberapa saat Pak Widarta masuk dan langsung mengajar les tambahan. Pelajaran Bahasa Indonesia.
“Eh, menurutmu, Ainara itu cantik nggak?” tanya Randi padaku. Ku tatap wajah Randi dingin. “Memang penting?” desisku terganggu.
“Jiaaah, aku cuma tanya aja sob. Segitunya…” hening pun datang sejenak.
“Eh, besok anak-anak mau ke Dago. Kita ada acara disana, mau ikut?” lanjut Randi lalu tersenyum seraya mengangkat alisnya. Aku menggeleng.
“Besok aku nggak bisa kemana-mana…” ucapku lirih.
“Kenapa?”
“Nggak penting juga di kasih tahu. Udah ah, dari tadi kamu ngajakin ngomong mulu. Nggak konsen aku, sama pelajaran Pak Widar…”
“Eh! Kayaknya, anak baru itu suka sama kamu, deh.” Lirih Randi semakin membuatku kesal.
“Bisa diam nggak?” sahutku ketus.
“Ups!” sahut Randi menutup mulutnya tertawa. Mengejek. Aku mencuri pandang melirik wajah cantik Ainara sesaat. Astagah! Dia tersenyum padaku. Dan senyumnya malam ini, sepertinya aku juga pernah merasakan sebelumnya, di tempat yang sama, waktu yang sama, momen yang sama, ya seperti saat ini. Apa ini namanya? Entahlah, Ainara cukup membuatku bersimpatik padanya.
***
“Alfi, tunggu!” teriak seorang wanita saat aku berjalan di koridor. Aku membalikkan badan. Ainara?
“Eh, aku duluan yah.” lirih Dimas yang ada di sampingku.
“Aku juga Al, mamah udah nunggu di depan..” sela Riska kemudian.
“Oh, oke…” sahutku pada mereka berdua.
“Sampai ketemu besok, Al…” tukas Dimas lalu berjalan bersamaan dengan Riska menuju gerbang. Aku mengangguk pelan. Ku lihat lagi Ainara yang berjalan semakin mendekatiku. Ia berhenti beberapa langkah di depanku.
“Sory, ngganggu…” lirih Ainara rikuh.
“Nggak apa-apa. Ada apa, Ai?” tanyaku kemudian.
“Begini…”
“Ciehhhh. Yang lagi PDKT…” tiba-tiba Randi dan dua orang temannya datang dari belakang menghampiri kami lalu kembali berlalu seraya tertawa. Kontan aku jengah dengan tatapan mereka. Kami pun berjalan berdua menuju halaman parkir. Ainara belum membuka pembicaraan. Dia masih malu sepertinya. Perlahan aku menatap wajahnya.
“Mau ngomong apa tadi…?” tanyaku pada gadis itu.
“Begini, Al. Kemaren pagi, nggak aku sengaja lihat kamu sibuk berkutat di depan meja kelas. Kayaknya serius gitu, sampai-sampai aku penasaran. Terus, saat kamu istirahat dan pergi ke lapangan basket, aku iseng liatin apa yang kamu kerjain. Ternyata ada gambar anak cowok seusiamu, di ikat di atas tiang dekat sebuah batu dolmen gitu, memangnya dia siapa? Kok, sepertinya gambar itu kayak bermakna…”
“Maksudmu?”
“Yah, aku ngerasa gambar itu hidup aja. Seperti ungkapan perasaan hatimu yang paling dalam. Apa, gambar itu hanya terlintas begitu saja di dalam pikiranmu. Atau kami merasa pernah melihat sesuatu…?”
“Hmmm, aku juga kurang tahu, Ai…” lirihku sambil berjalan. Udara dingin serta merta mengelus kulit tanganku.
“Tapi, aku memang pernah mengalami mimpi itu. Cowok yang kamu maksud itu, seolah adalah aku. Soalnya, mimpi itu selalu datang berkali-kali dalam lelapku. Aku juga nggak tahu itu hanya bunga tidur atau suatu isyarat untukku. Yang jelas aku selalu menggambar mimpi itu seperti ada yang memintaku untuk melukiskannya…”
“Ohh…” lirih Ainara mengimbangi langkahku.
“Eh iya, Ai. Ngomong-ngomong, aku jadi ingat sesuatu…” kataku padanya.
“Apa?” tanya Ainara ingin tahu.
“Kayaknya, waktu kamu memperkenalkan diri di depan kelas waktu itu, seolah aku sudah pernah melihatmu sebelumnya, kamu berdiri di sana, memakai pakaian SMA, menatapku tersenyum, lalu saat kita berpandangan. Terus, waktu kita di kantin siang tadi, aku kayak udah mengalami kejadian serupa. Nah, tadi waktu les pun, kayaknya aku pernah mengalami apa yang aku dan Randi lakukan. Kira-kira itu halusinasi atau…”
“Deja Vu!”
“Deja Vu?”
“Ya, itu namanya Deja Vu. Sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa yang baru sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya. Ya ‘kan?”
“Haa, iya. Bener. Aku sepertinya mengalami hal itu. Terus, kira-kira kenapa ya deja vu itu bisa datang kepada seseorang?”
“Hmm, aku nggak tahu pasti jawabannya. Tapi yang jelas, semua makhluk yang pernah hidup di bumi pasti pernah merasakan deja vu. Bahkan aku juga pernah.” Kelakar Ainara bijak. Aku hanya bersungut-sungut mengiyakan apa yang di katakan gadis cantik di sebelahku ini. Beberapa teman sudah ada yang pulang, sebagian masih ada yang duduk-duduk di depan kantor guru, ada yang di depan koridor perpustakaan, ada yang di parkiran, ada yang masih duduk di depan tiang bendera sekolah. Yah, suasana di sekolah sekilas tampak seperti tempat nongkrong anak remaja di alun-alun kota pada umumnya. Hanya bedanya, sekolah kami agak terpencil. Jauh dari keramaian. Tapi ini salah satu sekolah favorite dan bagus.
“Oh ya, Al. Boleh tanya sedikit hal pribadi nggak?” tanya Ainara kemudian.
“Boleh, memang, mau tanya apa?”
“Tapi jangan marah, yah?”
“Insya Allah.”
“Hmmm…” Ainara tampak malu-malu. Wajahnya memerah saat menatap wajahku lekat. Aku jadi agak gerogi, apa dia mau bicara kalau suka sama aku? Ta-tapi, bukannya dia sudah tunangan? Ainara masih diam. Dia melihat wajahku lagi dengan tatapan agak salah tingkah. Di bawah pohon akasia aku dan Ainara berdiri saling memandang, dalam suasana remang-remang.
“Mau tanya apa, sih?” aku malah penasaran. Tiba-tiba wajah Ainara tampak tegang. Panik, atau gelisah. Lalu.
“Alfi! Aku duluan yah…” sambung Ainara kemudian berlalu cepat meninggalkanku begitu saja.
“Ainara?” aku memanggil seraya mengikuti langkahnya yang menuju ke arah gerbang sekolah. Sempat aku melihat dia menatap gedung perpustakaan di sudut sekolah ini. Agaknya Ainara memang melihat sesuatu. Tapi apa? Aku merinding saat melihat lelaki bertubuh hitam, besar dan tinggi tiba-tiba muncul di sudut perpustakaan itu.
***
Dua bulan berlalu. Aku mengepak semua barang-barangku dan memasukkanya ke dalam koper. Selama seminggu aku dan teman-teman akan mengadakan kemping di puncak. Acara rehat sekaligus syukuran sebelum kami menghadapi ujian Nasional beberapa bulan lagi. Tradisi di sekolah kami sejak dahulu. Rencananya, kami akan mengadakan bakti sosial ke tempat penduduk setempat, menanam bibit pohon-pohon akasia, jati, dan beberapa jenis tanaman lain di lahan kosong. Dan beberapa kegiatan lain yang telah di rencanakan.
“Perlengkapan mandimu sudah di bawa semua, Al?” tanya ibu dari ruang makan.
“Udah, Buk..” sahutku seraya memasukkan beberapa kaos kasual ke dalam koper. Setelah semua di rasa cukup, aku pun berpamitan pada ayah dan ibu. Berangkat ke sekolah dan menunggu bus di sana.
Jam lima sore aku, Riska, Dimas, Ainara dan Randi masih duduk di depan gedung sekolah, sementara Angga dan Mariska telah pulang kerumah mereka sejak pukul tiga sore tadi. Entah apa rencana kami selanjutnya aku tidak tahu. Yang jelas, kami telah gagal kamping di puncak. Gagal mengikuti kompetisi bergengsi. Gagal merebut gelar juara. Dan gagal semuanya. Semua gara-gara aku datang telat hampir sejam lebih. Tampaknya, mereka semua masih marah padaku. Huhh, bagaimana ini?
Hujan masih deras mengguyur kota Bandung. Ku lihat wajah kesal mereka membuatku merasa tidak nyaman. Kecuali Ainara, mereka semua terus menyudutkanku. Mengumpat. Dan meminta aku bertanggung jawab. Memangnya kalau sudah begini apa yang bisa aku pertanggung jawabkan?
“Aku mau pulang…” lirih Riska bersedih.
“Aku juga, memang kamu pikir aku betah bengong di sini nggak jelas nasibnya?” sambung Randi membuatku semakin merasa bersalah.
“Kalau hujan yang deras ini nggak berhenti, gimana?” tukas Dimas membuat suasana seolah memburuk.
“Udah, kalian semua tenang. Nggak usah menyalahi nasib. Toh, rumah kalian juga dekat dari sekolah.” Ucapan Ainara agaknya membuatku tenang dan lega. Aku menatapnya tersenyum. Makasih, ya, Ai. Kau membelaku. Pikirku dalam hati. Hampir beberapa jam kami di sini, hujan malah semakin deras. Tidak ada tanda-tanda akan mereda. Mereka semua terlihat lemas, letih, dan kesal. Tidak ada angkutan umum, tidak ada ojek, sepertinya kami akan terisolasi di sekolah.
“Aku bawa bekal, ada yang mau makan malam bersamaku?” tanyaku kepada mereka semua.
“Aku juga bawa, kok..” Ainara menimpali, kemudian mengeluarkan kotak bekalnya. Yang lain tidak banyak bercakap selain meratapi hujan yang semakin menderu biru.
“Coba, boleh bawa HP, tinggal telfon mamah, di jemput deh…” lirih Riska bergetar. Agaknya dia yang paling kecewa dan kesal terhadapku.
“Di depan ‘kan ada wartel?” sambung Ainara.
“Aku nggak bawa payung atau mantel. Kalau kesana, aku bisa sakit flu atau bahkan demam kena hujan sederas ini…” Riska menyahut kasar. Ainara menatapku malu. Aku diam dan mengisyaratkan agar Ainara bersabar. Mereka semua emosi. Dan aku masih belum mendapat kata maaf dari Randi, Dimas dan Riska sejauh ini.
Malam ini, karena hujan tidak juga kunjung reda. Kami memutuskan untuk ke ruang UKS sekolah, beristirahat di sana. Perlu di ketahui, seperti yang aku katakan, sekolah kami bukan berada di tengah-tengah kota pada umumnya, yang ramai dan berdekatan dengan gedung-gedung lainnya. Sekolah kami ada di tengah-tengah lahan kosong milik seorang Haji. Dan ada di dekat perkebunan. Di depan sekolah hanya ada sebuah kedai kecil, wartel, dan halte. Jadi kami memang tidak bisa kemana-mana. Akses keluar cukup jauh.
“Aku mau tidur…” ujar Dimas menuju kursi sofa. Ia merebahkan badannya disana. Di susul Randi. Sedang Siska dan Ainara ada di ranjang UKS. Aku? Aku duduk di depan UKS sendirian. Entah mengapa, aku pun berfikir pernah merasakan hal ini sebelumnya. Terisolasi di sekolah dan di musuhi teman-teman baikku. Lalu…
Whussss!
Sontak aku terkejut. Sepintas aku melihat sekelebat cahaya hitam melintas di depan ruang komputer. Aku merinding. Banyak ruang kelas yang lampunya tidak menyala tiba-tiba. Sedang Pak Armin, satpam yang biasa menjaga sekolah di malam hari juga belum kelihatan. Janjinya mau datang dan membawa tukang ojek untuk kami berlima. Aku masuk ke UKS karena cemas. Sepertinya aku memang melihat sosok menyeramkan itu. Persis seperti apa yang pernah Ainara lihat juga di sudut perpustakaan.
“Mas, Dimas…” lirihku menggoyang badannya.
“Apaan sih?” sahutnya terganggu.
“Ayo, kita keluar dari sekolah, aku merasa nggak enak. Ada yang akan menimpa kita kayaknya..”
“Tahayul!” jawabnya lalu kembali tidur. Aku berjalan mendekati Randi. Melakukan hal yang sama.
“Aku ngantuk, Al. Besok aja kita pulangnya. Lagian mau jalan ke lintas terlalu jauh. Hujan juga belum reda…” sahut Randi sambil membaringkan badannya malas. Aku mendecak. Suara petir sambar menyambar dan membuat suasan semakin menceka. Suara derap langkah kaki terdengar ke arah ruang UKS. Di depan pintu, aku melihat lelaki berjuah hitam memegang kapak mengarahkan ke pintu. Matanya sempat melotot lebar melihatku. Bahkan tatapan itu sungguh membuatku takut. Aku membangunkan Ainara setengah berbisik,
“Ai. Ainara. Ba-bangun, Ai. Ada orang di luar sana.” bisikku cemas. Mungkin tidak meresponnya Ainara karena dia sudah terlelap.
“Riska. Bangun Ris…” aku coba membangunkan gadis berkaca mata itu. Semua diam. Tidak ada yang merespon. Lelaki di luar sana masih menatapku garang. Wajahnya pucat pasi. Menyeramkan.
Braaaak!
Lelaki itu mencoba membuka pintu ini dengan paksa. Sontak mereka semua terkejut. Ainara dan Riska segera keluar, Randi dan Dimas sontak bangkit dan bertanya-tanya padaku. Siapa orang yang menggedor pintu itu?
Braaak! Dubraaaak! Greppak! Suara hantaman itu terus terdengar hingga pintu ruang UKS terbuka.
“Hwaaaa!” kami semua berteriak saat melihat lelaki berjubah hitam yang tubuhnya di timpa cahaya kilat terkesan menakutkan. Wajahnya memang pasi, bahkan terlihat remuk dan hancur. Aroma tubuhnya angker. Tinggi, besar, dan matanya tajam. Persis seperti lelaki yang ada dalam mimpiku. Aku terbayang dengan kejadian yang akan menimpa kami. Serta merta ku ambil kursi kayu dan ku lemparkan pada lelaki itu. Dia mengelak. Berjalan perlahan lalu mendekatiku. Aku berjalan mundur menghindarinya. Tatapan mata lelaki itu membuatku cemas, takut.
“Si-siapa kamu?!” tanyaku menggertak. Lelaki itu mengangkat kapaknya dan mengarahkan padaku.
“Hwaaa! Toloooonggg!” teriak Riska dan Ainara bergantian. Mereka terus berteriak meminta tolong. Randi dan Dimas ketakutan luar biasa, mereka bersembunyi di balik meja. Aku menarik tangan Ainara dan Riska lalu membawa mereka lari menuju ke ruang BP yang ada di sebelah ruang ini. Lelaki itu menghadang. Aku menancapkan gunting di lengannya saat lelaki itu hendak memukulku dengan kapak. Blesss! Aku menusuknya kuat.
“Arrrgghh!” teriak lelaki itu kesakitan. Aku menendang lututnya hingga itu bertekuk kesakitan. Ku tendang sekali perutnya. Ia pun limbung merintih.
“Randi, Dimas! Ayo cepat keluar.” Pekikku pada mereka. Serta merta kedua temanku itu keluar dari balik meja dan menghampiri kami. Lalu kami semua berlari di terpa hujan menuju pintu gerbang sekolah.
“Aaaaaaaaa!” jerit Ainara saat melihat mayat Pak Armin tanpa kepala tersangkut di teralis pagar gerbang. Sontak kami semua terkejut. Pakaian satpamnya tercabik-cabik. Riska pingsan di tempat. Aku panik. Pintu gerbang terkunci. Apa kami bisa jika harus melompati pagar setinggi sepuluh meter ini tanpa menggunakan tangga? Kalau aku bisa saja melakukannya, tapi bagaimana dengan Riska dan Ainara, Randi dan Dimas?
“Mau kemana, kalian?” suara aneh terdengar dari arah lobi sekolah. Kami melihat sosok berjubah hitam berjalan terseok-seok mengejar kami. Dimas dan Randi menggotong Riska atas perintahku dan kami mencoba mencari jalan keluar lewat pagar di belakang sekolah. Ainara ada di belakangku, aku menggenggam tangannya erat. Dia begitu tampak ketakutan.
“Kita keluar lewat mana? Semua pintu terkunci?” tanya Dimas panik. Aku juga jadi ikut panik. Percuma berteriak minta tolong, tidak ada yang akan mendengar.
***
Karena menemui jalan buntu, kami hanya berlari-lari di koridor sekolah yang yang tidak tahu lagi kemana kami harus berlari. Untungnya Riska telah sadar. Jadi tidak terlalu merepotkan. Aku meminta agar mereka membantuku memikirkan cara agar bisa keluar dari sekolah ini. Semua tampak panik berfikir. Tiba-tiba kami di kejutkan lelaki berjubah hitam itu yang muncul dari tempat lain. Lelaki itu berhasil menangkap Randi. Aku dan Dimas mencoba melepas cengkraman itu dengan memukul anggota tubuh lelaki jangkung itu. Dia terus melawan. Kemudian memukul kepala Randi hingga Randi pingsan dan tak sadarkan diri. Riska menjerit, Ainara menangis. Aku shock, Dimas apalagi. Karena tidak mungkin bisa menyelamatkan Randi, kami memutuskan mencari tempat yang lebih aman. Aku dan Ainara bersembunyi di balik rak-rak perpustakaan. Nafasku tersengal-sengal. Begitu juga Ainara. Kami berbisik tatkala saling memandang. Hening. Suara di ruang perpustakaan ini benar-benar hening.
“Kemana Riska dan Dimas?” tanya Ainara panik.
“Entahlah, tapi mereka sepertinya ke ruang komputer…”
“Apa kita aman disini?”
“Kita lihat saja…”
Lama aku dan Ainara termenung di ruang perpustakaan. Kami sama takut dan cemasnya. Di ruang komputer sana, kami sempat mendengar suara teriakan Riska dan Dimas, sepertinya mereka ketahuan. Kami juga mendengar suara Riska yang melawan lelaki berjubah hitam itu. Suara benturan dan pukulan meja terdengar kacau. Dimas berulang kali mengahantamkan kursi ke lelaki berjubah hitam itu. Mereka bertengkar hebat. Lalu selang beberapa saat hening. Tenang. Sepi dan mencekam.
“Apa orang itu membunuh Riska dan Dimas?” lirih Ainara dengan bibir bergetar. Sangat ketakutan. Aku mendekapnya agar dia tenang.
“Aku harap tidak. Semoga mereka baik-baik saja…”
Braaak! Upsss! Segera aku menutup mulut Ainara yang nyaris berteriak saat mendengar pintu perpustakaan di dobrak.
“Dia datang…” bisikku di telinga Ainara. Dia mengagguk mengerti.
“Dimana kalian…?” tanya lelaki itu garang. Ainara tampak ketakutan, air matanya menetes. Aku memeluknya semakin erat. Mendekapnya hangat.
“Tenang, aku akan melindungimu…” bisikku di telinga Ainara. Suara langkah kaki lelaki itu terdengar jelas di atas lantai. Bayangan itu jelas terlihat saat petir sesekali menyambar. Dia tidak terlalu jauh dari posisi kami yang bersembunyi di balik rak nomor tiga.
“Kalau lelaki itu masuk di gang rak empat, kita lari dan langsung keluar, kau mengerti?” tanyaku pada Ainara. Dia mengangguk seiring menangis pelan. Sedangkan lelaki berjubah hitam itu mengobrak-abrik rak demi mencari keberadaan kami. Dia terus berteriak kasar. Entah apa yang di inginkannya dari kami.
“Hitungan ketiga, kita lari…” desisku.
“Satu….dua…tiga!” aku menarik tangan Ainara dan membawanya lari secepat mungkin, sedangkan lelaki itu melemparkan kapaknya dan tidak kusangka mengenai betis Ainara. Gadis itu terjatuh. Dia merintih kesakitan, aku melihat Ainara lemah dan tidak sanggup lagi berlari.
“Ayo, bangun. Kita harus keluar..” ujarku menyemangati Ainara.
“Kakiku sakiiit…” Ainara menangis. Lelaki berjubah hitam itu pun keluar dan berjalan mendekati kami. Langkahnya terseok-seok, tapi lumayan cepat. Tanpa pikir panjang aku meraih lengan Ainara dan memapahnya keluar dari tempat ini.
“Pelan, Alfi…kakiku sakit…”
“Akan lebih sakit, jika lelaki itu memotong-motong tubuhmu…” kataku gusar selagi memapah Ainara. Lelaki di belakang kami semakin cepat mengejar, dia berhasil meraih pundak Ainara. Aku melawan dan mencoba melepaskan cengkramannya itu.
“Lari, Alfi! Lari!” teriak Ainara.
“Heerggh, lepaskan Ainara, siapa kau? Bangsat!” kataku cemas seraya melakukan perlawanan. Aku berhasil membuat Ainara lepas. Gadis itu menangis dan terduduk di teras. Aku mengambil kayu dan batu. Kemudian memukulkannya pada lelaki itu. Lelaki itu masih bisa melawan. Aku memukul kepalanya. Berdarah. Aku menghantam perutnya. Dia merintih kesakitan. Lelaki yang semakin melemah kekuatannya itu aku manfaatkan dengan memukul bagian tubuhnya yang sudah terluka sebelumnya. Dia terjatuh, tapi sukses menarik kemejaku. Aku ikut terguling bersamanya. Dia mencekikku kuat. Aku sesak nafas. Tanganku meraba-raba batu yang tadi sempat aku genggam, setelah dapat, aku langsung menghantam kepalanya hingga memuncratkan darah. Lelaki itu terkapar. Aku terbaring lemah tak berdaya. Nafasku tersengal-sengal. Hujan turun deras dan membuat suasana kacau hingga hatiku serasa di iris sembilu. Aku mendekati Ainara dan membantunya lagi memapah, lalu kami segera meninggalkan sekolah malam itu juga.
***
Aku dan Ainara berjalan terseok-seok di jalan aspal. Tidak peduli hujan mengguyur kami. Ainara masih menangis. Mayat Randi, Dimas, Riska belum sempat kami urus, tujuan kami adalah menyelamatkan diri terlebih dahulu, lalu meminta bantuan.
“Laki-laki yang menyerang kita tadi, adalah orang yang ada di dalam mimpiku, Ai…” lirihku seiring menahan angin malam. Jalanan ini sepi. Bahkan kedai di depan sekolah tidak ada orangnya. Kami berjalan lebih lambat seperti siput.
“Apa kamu juga bermimpi, kalau lelaki itu membantai teman-teman kita?”
“Sepertinya, ya. Hanya, aku tidak terlalu jelas. Soalnya, dalam mimpiku itu aku kedatangan seorang penyelamat, dia bilang dirinya adalah utusan seorang pemimpin untuk mencari pembuka segel gerbang kematian, tapi aku tidak tahu siapa sang utusan itu. Saat aku hendak menemui bantuan, utusan itu menghilang. Waktu itu, sekitar tanggal 5 februari 2013, kakak kelasku yang bernama Rian mengalami kecelakaan saat hendak pergi ke Jakarta. Dia sempat SMS padaku kalau ada lelaki aneh yang bertanya tentang diriku, berhubung Rian tidak banyak memberikan info, lelaki itu mengamuk. Terakhir pesan yang aku terima dari Rian, lelaki itu mencari sang penyelamat dan utusan, tetapi Rian tidak mejelaskan panjang lebar siapa orang yang di maksud. Rian hanya menyebut namaku agar berhati-hati…”
“Terus..?”
“Rian tewas terlindas mobil setelah seminggu menjalani perawatan Pasca kecelakaan kereta api tersebut. Kata ibunya, Rian sempat melihat orang aneh yang turut dalam perjalanannya waktu itu, namanya Rashka…”
“Apa mungkin orang itu mencarimu melalui teman-temanmu?” tanya Ainara.
“Aku nggak tahu, Ai. Seperti yang kita alami, Dimas, Randi, Riska, mereka jadi korbannya. Yang penting sekarang kita harus secepatnya minta pertolongan…”
“Aku takut, Al!”
“Tenang… Ada aku. Kamu nggak perlu takut.”
Suara lenguhan dari bibir kecil Ainara terdengar miris di hatiku. Gadis cantik nun anggun itu sungguh bermental baja bak kesatria. Meski tubuhnya penuh dengan luka dan bercak darah, dia tidak pernah meronta melainkan hanya menahannya sebisa mungkin. Aku tidak tahu kemana lagi kami berjalan. Aku asing dengan tempat yang kami lewati. Aku tidak tahu tempat yang aku tapaki. Ainara membisu. Aku limbung mencari jalan. Hujan masih menderu biru. Angin malam terus menerpa sisa-sisa kenangan antara aku dan gadis itu. Mataku kunang-kunang seiring rasa ngilu di perutku terus menusuk lambung dan ulu hati. Ohh, sakitnya.
Dari arah timur aku melihat sebuah sorot lampu kendaraan memancar terang. Sontak aku melambaikan tangan meminta pertolongan. Mobil agar berkarat itu berhenti. Seorang membuka pintu, aku dan Ainara segera masuk. Di bangku belakang, aku mendekap tubuh Ainara yang terlelap. Dia terlihat lelah sekali. Kasihan gadis cantik ini. Syukurlah, kami bisa selamat.
“Adek-adek ini mau kemana?” tanya seorang lelaki yang menyupir. Aku berusaha mengamati wajahnya karena dia tidak menyalakan lampu. Samar-samar aku melihat wajahnya yang remang-remang kurang jelas…
“Astagah!” teriakku terkejut. Lelaki berjubah hitam itu tersenyum sini dan menatapku bengis.
SEKIAN
Karangan : Imuk Yingjun
Semoga dari cerita ini kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran.